Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menegaskan, provokasi Pemerintah Cina di Perairan Natuna merupakan pengulangan peristiwa serupa pada 2016. Ketika itu pada Maret 2016, kapal ikan Cina juga masuk dengan cara ilegal ke Perairan Natuna untuk mencuri ikan. Upaya penangkapan oleh TNI juga dihalang-halangi oleh kapal Coast Guard Cina. "Jadi, semacam rencana bersama mencuri ikan yang diketahui dan melibatkan organ resmi Pemerintah Cina," ucap Bamsoet di Jakarta, Selasa (7/1).
Kini, modus yang sama dipraktikan lagi pada Desember 2019. Puluhan kapal ikan Cina masuk perairan Natuna dikawal pasukan penjaga pantai China plus kapal perang fregat untuk kegiatan IUUF (Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing).
Selain itu, Cina juga sudah angkat bicara menentang inisiatif Indonesia mengubah nama Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara pada Juli 2017. "Inisiatif Indonesia ini dikecam Beijing. Waktu itu, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Geng Shuang, menilai penggantian nama itu tak masuk akal," ungkap Bamsoet.
Cina bahkan kembali menegaskan sikapnya menolak keputusan pengadilan arbitrase internasional tentang posisinya di Perairan Natuna. "Seperti diketahui, Pengadilan Arbitrase Internasional tentang Laut Cina Selatan pada 2016 memutuskan bahwa klaim China tentang sembilan garis putus-putus di Perairan Natuna sebagai batas teritorial laut Cina tidak mempunyai dasar historis," sebut Bamsoet.
Pendirian dan sikap pemerintah Cina yang seperti itu, dinilai memberi petunjuk jelas bagi Indonesia untuk bersikap tegas. Berpijak pada UNCLOS 1982 yang legalitasnya diperkuat oleh keputusan Arbitrase Internasional tahun 2016 itu, setapak pun Indonesia tidak boleh mundur dari Laut Natuna Utara. "Dan, untuk mempertahankan kedaulatan RI atas Laut Natuna Utara, tidak diperlukan lagi perundingan atau negosiasi dengan pihak mana saja, termasuk Cina sekali pun," tegasnya.
Untuk mewujudkan ambisinya menguasai Perairan Natuna, Bamsoet memastikan Cina akan terus melanjutkan petualangannya di Laut Natuna Utara. Mereka akan terus memprovokasi Indonesia, khususnya pasukan TNI yang bertugas di perairan itu. Karena itu, penguatan armada penjaga pantai (coast guard) Indonesia di perairan Natuna menjadi sangat relevan.
Senada, Wakil Ketua MPR Syarifuddin Hasan (Syarif Hasan) mendukung sepenuhnya sikap tegas pemerintah yang menolak klaim Cina atas Perairan Natuna. Menurutnya, kalau menyangkut soal kedaulatan NKRI maka tidak ada istilah kompromi. Cina harus keluar dari teritorial kedaulatan NKRI. "Kita mengapresiasi karena pemerintah sekarang kompak dan sudah ada instruksi langsung dari Presiden bahwa kita harus tegas dan tidak kompromi. Menko Polhukam juga sudah menyatakan diplomasi bukan berarti negosiasi. Saya pikir sikap pemerintah itu sudah bagus,” kata Syarif Hasan.
Implikasi Ekonomi
Politisi Partai Demokrat ini mengatakan pemerintah tidak perlu khawatir dengan sikap tegas Indonesia terhadap Cina akan berimplikasi secara ekonomi yaitu ditariknya investasi Cina di Indonesia. "Cina hanya investor nomor 3 di Indonesia. Cina pasti membutuhkan Indonesia. Jadi tidak usah khawatir tentang implikasi ekonomi. Karena itu kita harus betul-betul tegas dan tidak ada negosiasi. Kita hanya menginginkan China menaati UNCLOS (Unitied Nations Convention on the Law of the Sea/konvensi PBB tentang Hukum Laut) yang sudah diratifikasi bersama," ujarnya.
Bahkan, kalau perlu Pemerintah Indonesia yang berinisiatif meninjau kembali investasi Cina di Indonesia. "Saya pikir bisa saja kita meninjau investasi Cina di Indonesia kalau memang Cina tidak ada respon. Perlu tindakan yang betul-betul tegas dari pemerintah kita. Ini juga menjadi pelajaran untuk Cina," tegasnya.
Syarif Haasan mengakui kasus Natuna ini mengingatkan pada kasus Ambalat tahun 2005 – 2006. Pada saat itu, Presiden Susilo Bambang Yudhyono (SBY) mengambil sikap tegas dan tidak ada kompromi. Bahkan Presiden SBY sempat berada di kapal perang di perairan Ambalat. "Sikap tegas SBY berhasil. Malaysia merespon dengan menyelesaikan kasus ambalat melalui saluran diplomatik," ujarnya. (har)