JAKARTA (Bisnis Jakarta) – Mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang dijuluki tokoh reformasi, Amien Rais, memperingati perjalanan 20 tahun reformasi di Gedung MPR/DPR, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (21/5).
Banyak hal diungkap dan diulas Amen yang kini duduk sebagai Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) tersebut. Sebagai pembicara utama iapun menyiapkan catatan kecil.
“Jadi saya ke sini diminta untuk lakukan refleksi 20 tahun reformasi. Saya sudah buat catatan kecil di mana kita berhasil, di mana kita belum,” sebut Amien Rais.
Salah satu catatan kecil yang diunkap Amien antara lain soal adanya permintaan sejumlah pihak yang menolak amandemen UUD 1945 yang sudah dilakukan perubahan hingga empat kali ketika dirinya menakhodai MPR yang ketika itu berwenang mengubah UUD 1945 sebagai konstitusi negara.
“Bahkan saya membuat catatan andaikata yang diminta sebagian besar masyarakat kembali ke UUD 45 sebelum amendemen, apa resikonya, saya tulis,” kata Amien.
Amien mengaku meski sudah makin berumur, namun ia tetap rajin membaca buku. Buku terakhir dibacanya adalah ‘How Democracies Die’ (2018) karya dua profesor dari Harvard University, Steven Levitsky and Daniel Ziblatt.
Isi buku, menurutnya relevan dengan kondisi saat ini. Bahwa, jika tak hati-hati lembaga-lembaga demokrasi akan perlahan berubah menjadi lembaga otoriter, bahkan totaliter, jika mentalnya belum cukup demokratis.
“Mungkin DPR, pemerintahnya, bahkan opini publiknya, bisa mendorong demokrasi kejebur, termasuk ke jurang. Dan sekarang kita akan ke sana kalau tidak hati-hati. Misalnya, pemikiran soal calon tunggal di Pilpres,” kata Amien.
Amien Rais juga mengenang detik-detik menjelang lengsernya Soeharto dari jabatannya sebagai Presiden RI kedua. Saat itu, sebut Amien ia sempat meminta kepada Soeharto untuk segera mundur agar situasi keamanan nasional dapat segera pulih.
Usulannya didukung media massa saat itu. Kemudian pada tanggal 20 Mei 1998 malam sekitar pukul 20.00 WIB, Yusril Ihza Mahendra yang berada di lingkaran istana sebagai penulis teks Pidato Soeharto mendatanginya.
Kedatangan Yusril bukannya tanpa alasan. Yusril membawa pesan dari Soeharto kepada Amien, yaitu menanyakan persetujuan Amien apabila BJ Habibie naik sebagai presiden menggantikan presiden kedua RI itu.
“Kemudian 20 Mei malam itu, jam 20.00 WIB setelah Isya, saya didatangi Yusril dikawal dengan Paspamres. Dia mengatakan ‘Pak Amien, saya ada pesan dari Pak Harto. Kalau Pak Harto akan menyatakan lengser, apa Pak Amien setuju kalau yang ganti (BJ) Habibie?’. Terus saya bilang ‘Mas Yusril, kan itu kata konstitusi jadi memang harus Pak Habibie’. Jadi saya mengatakan selama saya dan Pak Harto insyaallah, kita akan menyambut dengan senang hati,” ungkap Amien.
Sekitar pukul 23.00 WIB, Yusril kembali menelepon Amien. Dalam sambungan telepon itu, Amien mendesak agar Soeharto dapat segera lengser.”Saya katakan ‘Pak Yusril, yang penting pergantian. Di mananya enggak penting. Jadi yang penting bagaimana terjadi pidato pelengseran beliau. Soal di mana, tentu rakyat akan memahami’,” ucapnya.”Jam 10 pagi 21 Mei, Pak Harto menyatakan lengser,” sebut Amien.
Hadri pada cara tersebut antara lain pelkau sejarah Albert Hasibuan, Ketua MPR Zulkfli Hasan, penyair Taufiq Ismail, Wakil Ketua DPR Fadli Zon dan Fahri Hamzah serta Wakil Ketua DPD Nono Sampono. (har)