Belum Sepakat, Persetujuan soal Definisi Terorisme

JAKARTA (Bisnis Jakarta) – Pemerintah mengusulkan dua alternatif terbaru tentang definisi terorisme dalam revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (RUU Antiterorisme).

Rumusan dua alternatif yang ditawarkan kepada Panitia Khusus RUU Antiterorisme DPR dibacakan Enny Nurbaningsih selaku Ketua Tim Panitia Kerja RUU Antiterorisme dari pemerintah di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (23/5).

Dua alternatif definisi terorisme terbaru dari pemerintah berbunyi, Alternatif 1: “Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban, yang bersifat massal, dan atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional.”

Adapun alternatif 2 yaitu “Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal dan atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, atau politik atau gangguan keamanan negara.”

Namun, dari dua alternatif itu, belum disepakati dengan Pansus RUU Antiterorisme DPR. Dua alternatif ini selanjutnya akan dibahas kembali dalam rapat bersama Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly hari Kamis ini (24/5/2018) untuk bisa disepakati.

Ada dua fraksi yakni PDIP dan PKB yang tidak sepakat dengan alternatif kedua yang memuat frasa motif ideologi, politik, dan gangguan keamanan. Mereka menilai tanpa frasa itu UU Terorisme tetap efektif. Sedangkan delapan fraksi lainnya setuju dengan rumusan alternatif kedua dari pemerintah dengan catatan harus menghilangkan kata “negara”.

Enny menjelaskan perbedaan dari dua alternatif itu adalah pada alternatif kedua ditambahkan frasa dengan motif ideologi, atau politik atau gangguan keamanan negara.”

Meski terkesan berupaya mengakomodir keinginan DPR itu, namun pemerintah menginginkan agar frasa motif ideologi, politik, dan ancaman terhadap negara, hanya dimasukan ke dalam bagian penjelasan umum dan tidak perlu dimasukan dalam batang tubuh.

Permintaan pemerintah tersebut ditolak beberapa fraksi yang berpandangan bahwa frasa motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan harus dimasukan ke dalam definisi di batang tubuh RUU Antiterorisme.

Hal lain mengenai klausul pasal seperti pelibatan TNI dalam penindakan, perihal penyadapan, hingga penangkapan serta masa tahanan, menurut Enny sudah disetujui. “Itu kan sudah lengkap. Jangan sampai karena definisi, UU tidak efektif,” kata Enny yang juga Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kemenkum HAM.

Ketua Pansus RUU Antiterorisme dari Fraksi Partai Gerindra Muhamad Syafi’i mempertanyakan definisi yang tidak memuat frasa motif politik, ideologi, dan ancaman terhadap keamanan negara ke dalam definisi yang berada di batang tubuh UU.

Menurut politisi dari Partai Gerindra ini, frasa tersebut harus dimasukan ke dalam batang tubuh untuk membedakan apakah suatu tindakan kejahatan masuk dalam kategori kriminal biasa atau kejahatan luar biasa seperti terorisme. “Saya berpendapat harus ada pembeda antara kriminal biasa dan terorisme,” ingatnya.

Sementara fraksi yang lain merasa perlu ada frasa tentang frasa itu sebagai upaya mempermudah aparat mengidentifikasi tindakan terorisme dengan pidana umum.

Ketua Tim Perumus Pansus RUU Antiterorisme DPR Supiadin Aries Saputra memastikan Pansus akan menyelesaikan RUU lebih cepat yaitu 25 Mei 2018 dari rencana awal 31 Mei. Setelah rapat tim perumus ini, pembahasannya dikebut maka dengan menggelar rapat tim sinkronisasi kemudian rapat pleno Pansus dengan Menteri Hukum dan HAM untuk pengambilan keputusan tingkat I.

“Kalau definisi belum selesai, tidak mungkin naskahnya ini akan masuk ke paripurna. Harus selesai dulu, jadi masuk ke rapat paripurna sudah bersih (disepakati),” kata Pansus merangkap Wakil Ketua Pansus RUU Antiterorisme.

Soal kemungkinan adanya voting untuk menyepakatinya, Supiadin tidak mempersoalkannya. “Bisa saja terjadi dalam rapat paripurna itu voting, bisa saja. voting untuk disahkan atau tidak,” ucapnya. (har)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button