JAKARTA (Bisnis Jakarta) – Mantan anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani dituntut 8 tahun penjara ditambah denda Rp300 juta subsider 6 bulan kurungan karena dinilai terbukti melakukan tindak pidana korupsi memberikan keterangan tak benar dalam persidangan kasus korupsi KTP elektronik.
“Supaya majelis hakim memutuskan, menyatakan terdakwa Miryam S Haryani terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut dengan menyampaikan keterangan tidak benar dalam perkara korupsi,” kata jaksa penuntut umum KPK Kresno Anto Wibowo, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin malam.
Jaksa juga juga menuntut menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Miryam S Haryani berupa penjara selama 8 tahun ditambah denda Rp300 juta subsider 6 bulan kurungan. Tuntutan itu berdasarkan dakwaan dari pasal 22 jo pasal 35 ayat 1 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 64 ayat 1 KUHP.
“Hal yang memberatkan, terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi, menghambat proses penegakan hukum yang dilakukan KPK dalam persidangan KTP elektronik, tidak menghormati pengadilan dan sumpah yang diucapkan dalam nama Tuhan dan sebagai anggota DPR tidak memberikan teladan yang baik,” kata jaksa Kresno itu pula.
Miryam dinilai terbukti dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar dengan cara mencabut semua keterangannya yang pernah diberikan dalam berita acara pemeriksaan (BAP) penyidikan dalam pemeriksaan saksi untuk persidangan terdakwa mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri Irman dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Kemendagri Sugiharto dalam perkara korupsi KTP elektronik pada Kamis, 23 Maret 2017.
Miryam mencabut BAP miliknya yang menerangkan antara lain adanya penerimaan uang dari Sugiharto dengan alasan pada saat pemeriksaan penyidikan telah ditekan dan diancam oleh 3 orang penyidik KPK. Padahal alasan yang disampaikan terdakwa tersebut tidak benar.
Keterangan itu tertuang dalam BAP 1 Desember 2016, BAP tanggal 7 Desember 2016, BAP tanggal 14 Desember, dan BAP tanggal 24 Januari 2017 yang diparaf dan ditandatangi Miryam. Padahal sebelum memberikan keterangan sebagai saksi di persidangan, Miryam sudah terlebih dulu bersumpah sesuai agama Kristen bahwa akan memberikan keterangan yang benar.
Namun Miryam malah mengatakan mencabut semua keterangannya yang pernah diberikan dalam BAP tersebut dengan alasan isinya tidak benar, karena pada saat penyidikan telah ditekan akan diancam oleh 3 orang penyidik KPK yang memeriksanya yaitu Novel Baswedan, MI Susanto, dan Ambarita Damanik.
Hakim kembali mengingatkan agar Miryam memberikan keterangan yang benar di persidangan karena sudah disumpah, selain itu menurut hakim keterangan Miryam dalam BAP sangat runut, sistematis dan tidak mungkin bisa mengarang keterangan. Hakim juga mengingatkan Miryam mengenai ancaman pidana penjara bila memberikan keterangan yang tidak benar.
Selanjutnya pada Kamis, 30 Maret 2017 JPU menghadirkan kembali Miryam di persidangan bersama 3 penyidik yaitu Novel Baswedan, MI Susanto, dan Ambarita Damanik. Setelah dilakukan pengambilan sumpah terhdap ketiga saksi verbal lisan, hakim menyatakan kepada para penyidik KPK mengenai adanya tekanan dan ancaman yang dilakukan kepada terdakwa pada saat pemeriksaan penyidikan sebagaimana diterangkan dalam persidangan sebelumnya.
Atas pertanyaan hakim, baik Novel Baswedan, MI Susanto maupun Ambarita Damanik menerangkan bahwa mereka tidak pernah melakukan penekanan dan pengacaman saat memeriksa terdakwa sebagai saksi, lebih lanjut diterangkan dalam 4 kali pemeriksaan pada 1, 7, 14 Desember 2016 dan 24 Januari 2017 kepada Miryam diberi kesempatan untuk membaca, memeriksa dan mengoreksi keterangannya pada setiap akhir pemeriksaan sebelum diparaf dan ditandatangani Miryam.
Keterangan Miryam mencabut semua BAP dengan alasan telah ditekan dan diancam 3 orang penyidik KPK saat pemeriksaan penyidikan adalah keterangan tidak benar karena bertentangan dengan keterangan 3 orang penyidik KPK selaku saksi verbal lisan maupun bukti-bukti lain berupa dokumen draf BAP yang telah dicorat-coret atau dikoreksi dengan tulisan tangan terdakwa maupun rekaman video pemeriksaan yang menunjukkan tidak adanya tekanan dan ancaman tersebut.
“Keterangan terdakwa berada di bawah tekanan tidak benar karena bertentangan dengan alat bukti lainnya, sehingga segala pencabutan BAP dalam sidang Irman dan Sugiharto tidak berdasarkan alasan yang sah. Pencabutan tidak berdasarkan alasan sah sebaliknya pemberian keterangan terdakwa pada 1, 7, 14 Desember 2016 dan 24 Januari 2017 dapat dipercaya karena berkesesuaian dengan keterangan yang ada dan saksi-saksi dalam kasus Irman dan Sugiharto,” kata jaksa Kresno Demikian pula keterangan Miryam yang membantah penerimaan uang dari Sugiharto bertentangan dengan keterangan Sugiharto yang menerangkan telah memberikan sejumlah uang kepada Miryam.
“Pemberian uang 100 ribu dolar AS, 100 ribu dolar AS, 500 ribu dolar AS, dan Rp4 miliar berkesuaian dengan saksi-saksi tiga orang penyidik, Sugiharto serta Elza Syarif dan tertuang dalam putusan Irman dan Sugiharto,” ujar jaksa.
Selanjutnya berdasarkan tim psikologi forensik dari hasil pemeriksaan terhadap respons Miryam saat menjalani pemeriksaan juga dinilai bahwa Miryam tidak dalam tekanan. “Dari penampilan secara umum dan respons dalam 4 kali pemeriksaan terdakwa tidak mengalami gangguan jiwa berat, punya kemampuan kognitif normal sehingga punya kemampuan untuk menjawab pertanyaan,” kata jaksa Kresno. Atas tuntutan itu, Miryam akan mengajukan nota pembelaan pada 2 November 2017. (grd/ant)