Pemberantasan Mafia Tanah, Masih Terhalang Internal Kekuasaan

JAKARTA (Bisnisjakarta)-
Konflik atau sengketa  agraria yang terjadi cenderung berdampak pada masyarakat yang lebih banyak menjadi korbanya, baik sengketa dengan pemerintah ataupun sengketa dengan korporasi. Bahkan banyak persoalan pemindahtanganan penguasaan tanah terjadi akibat perampasan kepemilikan tanah.
    "Banyak laporan kasus sengketa atau perampasan tanah ke Saber Pungli. Dari laporan yang masuk seringkali terjadi dualisme penanganan perampasan tanah yang diduga dilakukan oleh oknum karena mengikuti pesanan," ungkap Kaset Saber Pungli Kemenko Polhukkam, Kombes Pol. Budi Susanto dalam diskusi bertema 'Instruksi Presiden atas Perampasan Tanah Rakyat dengan Mengatasnamakan Negara (BUMN, BUMD, institusi TNI-Polri dan Korporasi Besar' di Sekretariat JokMa, Menteng, Jakarta, Kamis (30/5).
    Hadir sejumlah pembicara lainnya antara lain Ketua Umum Forum Korban Mafia Tanah Indonesia (FKMTI) Supandi Kendi Budiarjo, Ketua umum Kkeluarga Besar Kampus Reformasi '98 (Ketum KBKR'98) Tohap Silaban dan Sekjen JokMa Center Bagus Satrianto.
    Selain menghadirkan sejumlah pembicara, diskusi juga menghadirkan sejimlah korban perampaaan tanah yang tersebar di sejumlah daerah.
    Sejauh ini menurut Budi Susanto, Saber Pungli di bidang pertanahan  berupaya menjalankan misi pemerintah untuk memberantas habis mafia tanah. Budi mengaku tak jarang upaya memberantas mafia tanah terkendala oleh petugas terkait di internal pemerintahan sendiri karena merasa kepentingannya terganggu.
    Sebab laporan yang masuk ke kami juga mengindikasikan adanya pengurusan  sertifikat hak milik di dalamnya ada pungli habg dilakukan oknum aparat atau pihak lain.
"Jadi ada faktor internal yang mempengaruhi kerja kami selain juga faktor eksternalnya," sebutnya.
    Ketua Umum FKMTI Supandi Kendi Budiarjo  (Budi) mengungkapkan sejauh ini pihaknya telah menerima pengaduan dari korban pernapasan tanah yang jumlahnya mencapai 2000 an laporan. "Dari jumlah itu total kerugian diperkirakan mencapai Rp 1500  triliun," ucap Budi.
    Ia juga mengungkap dari banyak kasus yabg dijumpai kebanyakan para perampas tanah menggunakan modus dengan memanfaatkan institusi pengadilan untuk merampasnya. "Jadi dengan modus ini, tidak ada kegiatan transaksi jual beli tanah. Semuanya dilakukan oleh pengadilan. Mereka menggunakan jalur formal," tegasnya.
    Budi menilai tata kelola pertanahan di Indonesia masih karut marut. Reformasi agraria yang telah dicanangkan pemerintahan Jokowi saat ini menurutnya sudah efektif tetapi belum berdampak pada rakyat secara keseluruhan.
    Sementara itu, Ketua Umum KBKR'98 Tohap  Silaban mengungkapkan reformasi agraria merupakan salah satu agenda reformasi yang digaungkan gerakan mahasiswa saat menumbangkan rezim Orde Baru yaitu memberantas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). "Namun, faktanya upaya pemberantasan KKN belum tuntas. Buktinya, sudah  banyak pejabat negara dicokok KPK dan aparat penegak hukum lain dan masih banyak yang menanti proses hukum susulan," ujarnya.
    Berkaitan dengan itu, Tohap mengatakan pihaknya yang selama ini berupaya menjembatani korban penyerobotan/ perampasan tanah dan  telah menemukan sejumlah fakta di depan mata bahwa praktek Kolusi dan korupsi di instansi pemerintah yang berkait  urusan tanah hingga kini masih terjadi.
    "Tapi kami menilai reformasi Agraria tidak cukup hanya dengan mempercepat proses sertifikasi terhadap tanah milik rakyat seperti yabg selama ini terus dilakukan  Presiden Jokowi," kata Tohap.
    Namun, yang paling penting ke depannya adalah bagaimana kebijakan  pemerintahan Jokowi atas masalah pertanahan bisa lebih fokus pada pembenahan reformasi birokrasi di jajaran pertanahan.
    "Sebab, kami justru  menemukan banyak terjadi di berbagai wilayah, tanah milik  rakyat baik yang berstatus girik maupun sertifikat bisa dikuasai secara sepihak oleh pengusaha besar atau konglomerat," ucap Tahap. (har)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button