JAKARTA (Bisnis Jakarta) – Pemerintah berkomitmen akan terus menjaga iklim bisnis dan investasi di Indonesia terus kondusif sehingga menarik bagi para investor dan berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi domestik.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan itu menanggapi prediksi Dana Moneter Internasional (IMF) yang menyebutkan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai 5,3 persen pada 2018.
“Pokoknya kita lihat dulu faktor apa yang menyebabkan prediksi mengenai 5,2 persen, apa faktor konsumsi. Menurut saya, IMF asumsi konsumsi lima persen. Tantangan besar ialah menjaga momentum investasi maupun ekspor sehingga sekuat Q3 ini. Kita akan upayakan itu terjaga sesuai instruksi Presiden untuk jaga iklim bisnis dan investasi,” kata Sri Mulyani saat ditemui di Gedung Kemenkeu, Jakarta, Rabu.
Sebelumnya, IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,3 persen pada 2018 karena disumbang meningkatnya kontribusi ekspor dan investasi.
Pimpinan Misi IMF untuk Indonesia Luis E. Breur mengatakan permintaan domestik juga akan meningkat sejalan dengan pertumbuhan kredit perbankan. Namun, meningkatnya permintaan domestik itu masih dalam laju moderat.
“Perekonomian Indonesia terus berjalan dengan baik, didukung oleh kebijakan makroekonomi yang hati-hati, peningkatan pertumbuhan ekonomi global dan harga komoditas, dan upaya berkelanjutan untuk memperkuat daya saing,” ujar Breur.
Breur baru saja memimpin tim IMF untuk mengevaluasi perekonomian Indonesia. Kunjungan evaluasi dilakukan pada 1-14 November 2017. Dalam kunjungan penilainnya, IMF berdiskusi dengan perwakilan pemerintah, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan perwakilan sektor swasta.
Dalam kesimpulan diskusi untuk “2017 Article IV Consultation” itu, IMF memperkirakan laju ekonomi Indonesia akan berlanjut bertumbuh menjadi 5,3 persen pada 2018 setelah tumbuh 5,1 persen pada 2017.
Breur mengatakan terjaganya ekonomi Indonesia juga ditandai dengan laju inflasi yang terjaga. Pada tahun ini, inflasi diperkirakan 3,7 persen (year on year/yoy) dan menurun menjadi 3,6 persen pada 2018. Transaksi berjalan Indonesia diperkirakan masih menderita defisit 1,7 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan membengkak menjadi 1,9 persen PDB pada 2018.
Namun, IMF menekankan terdapat kecenderungan risiko ekonomi eskternal yang lebih besar karena potensi pembalikkan arus modal asing, pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat di China, dan risiko kemanan dari stabiltas geopolitik kawasan.
Dari ekonomi domestik, risiko juga masih membayangi karena potensi kekurangan penerimaan pajak dan kecenderungan kenaikan suku bunga di pasar keuangan mengingat pengetatan likuiditas pasar keuangan global. “Pada sisi positifnya, pertumbuhan global dan harga komoditas bisa lebih kuat dari yang diperkirakan,” ujar Breur.
IMF menyimpulkan kebijakan Indonesia dalam jangka pendek harus menyeimbangkan orientasi ekonomi untuk mendongkrak pertumbuhan, namun pada saat yang sama menjaga stabilitas perekonomian. Untuk kebijakan moneter, IMF menyarankan otoritas untuk menjaga stabilitas harga sembari mendukung laju pertumbuhan ekonomi. Kebijakan moneter yang diterapkan Bank Indonesia (BI) saat ini dinilai IMF sudah tepat. Di sistem keuangan Indonesia, IMF menilai kebijakan tetap harus menjaga stabilitas.
IMF melihat terdapat kebutuhan mendesak untuk menerapkan strategi penerimaan jangka penengah yang menitikberatkan reformasi kebijakan pajak dan administrasi pajak guna mendukung penguatan iklim berbisnis. (grd/ant)