JAKARTA (bisnisjakarta.co.id) – Kementerian BUMN berencana membentuk holding company untuk pembangkit panas bumi (PLTP) dan pembangkit listrik tenaga uap-batubara (PLTU). Khusus untuk panas bumi akan dipisahkan dari PLN milik Pemerintah. Setelah membentuk induk perusahaan yang terpisah, aset dan saham tersebut akan dijual melalui penawaran umum perdana (IPO).
Rencana holding dan privatisasi PT PLN mendapat penolakan dari SP PLN yang didukung Public Services International (PSI).
Southeast Sub-regional Secretary Public Services International (PSI), Ian Mariano dalam konferensi pers virtual yang digelar oleh SP PLN Group di Jakarta, Rabu (15/09/21) mengatakan, listrik merupakan kebutuhan, kepentingan strategis bagi negara dan berdampak pada kehidupan seluruh rakyat Indonesia. Untuk itu Pemerintah harus menjaga kepemilikan dan bekerja untuk memastikan akses universal dan transisi yang adil dan merata ke generasi rendah karbon.
Privatisasi layanan energi, menurut dia tidak akan memungkinkan akses universal atau transisi mendesak ke generasi rendah karbon, seperti yang dipersyaratkan dalam Kesepakatan Iklim Paris.
“Indonesia berjanji untuk mengurangi emisi rumah kaca sebanyak 29% pada tahun 2030 dengan meningkatkan penggunaan energi terbarukan hingga 23% dari total konsumsi nasional pada tahun 2025,” katanya.
Sementara itu, Ketua Umum SP PLN, M Abrar Ali kembali menekan pernyataan sikapnya, SP-PLN dengan tegas menolak holdingisasi PLTP jika induk holding bukan PLN.
“Kami juga menolak jika holdingisasi PLN dilanjutkan dengan privatisasi atau penjualan saham PLN atau anak perusahaanya melalui mekanisme IPO di pasar modal,” tegasnya.
Jika privasitasi PLN itu dilakukan, dan swasta masuk yang nota bene berorientasi untung, menurutnya akan memicu kenaikan tarif listrik.
Sementara itu, Sekjen SP-PJB, Dewanto Wicaksono menyatakan, pihaknya sepakat, sesuai putusan judicial review di MK, sektor pelayanan energi dan pelayanan publik seperti PLN tidak boleh diprivatisasi.
“Sektor pelayannan publik dan energi harus tetap di bawah kendali negara melalui BUMN yang langsung dikontrol DPR dan mengacu pada aturan konstitusi,” tutur Dewanto.
Oleh karena itu, SP-PLN menolak holdingisasi dan privatisasi PLN bukan semata-mata kepentingan SP, tapi, Indonesia sebagai negara hukum maka harus menjadi konstitusi negara sebagai aturan tertinggi dan harus ditaati semua pihak termasuk Kementerian BUMN dan PLN sekalipun.
Ia meminta pengambil kebijkan di negeri ini bahkan Presiden Jokowi hendaknya menilik sejarah, bagaimana perjuangan para perintis menasionalisasi perusahaan listrik Belanda menjadi PLN yang sekarang.
Perjuangan para perintis PLN serta amanat konstitusi ini menurutnya harus tetap ditegakkan. Karena itu, tegasnya, PLN tidak boleh diprivatisasi serta diserahkan ke pemilik modal yang lebih mengejar keuntungan dibandingkan pelayanan ke rakyat dan bangsa. *ra