Pengawalan polisi terhadap seorang jurnalis Detikcom yang mengalami intimidasi, doxing, teror, bahkan diancam akan dibunuh tidaklah cukup dalam menyelesaikan persoalan. “Aparat keamanan harus mengusut secara tuntas pelaku dan aktor intelektual kasus tersebut,” desak Sekjen Poros Wartawan Jakarta (PWJ) Syarif Sallampesy di Jakarta, Jumat (29/5).
Pesy menilai, ancaman pembunuhan terhadap jurnalis Detikcom bukan saja bentuk kriminalisasi terhadap jurnalis. Tapi, tindakan ini juga telah mencoreng wajah demokrasi di Indonesia.
Terlebih lagi, jelas wartawan RRI ini, Indonesia sebagai negara hukum memiliki aturan yang sangat jelas bahwa tindakan si pengancam jurnalis Detikcom itu telah bertentangan dengan amanat UU No 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
Dalam Pasal 4 ayat 1-3 dijelaskan bahwa salah satu peranan pers adalah melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Yang menghambat atau menghalangi maupun penyensoran dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.
Seiring polisi menyelesaikan kewajibannya untuk mengusut kasus tersebut, PWJ minta, Pemimpin Redaksi Detikcom juga harus menjamin keselamatan jurnalis dan keluarganya yang terancam. “Tak hanya itu. Dewan Pers, juga harus terlibat aktif dalam penyelesaian kasus kekerasan yang menimpa jurnalis,” tegas Pesy.
PWJ mengingatkan kepada seluruh masyarakat untuk ikut menjaga dan mengembangkan kemerdekaan pers. Apabila ada sengketa pemberitaan, sejatinya bisa diselesaikan dengan cara meminta hak jawab atau melapor ke Dewan Pers.
Sebagaimana diketahui, intimidasi terhadap wartawan kembali terjadi. Kali ini dialami jurnalis Detikcom setelah menulis berita terkait Presiden Joko Widodo, Selasa 26 Mei 2020. Korban mengalami intimidasi, doxing, teror, bahkan diancam akan dibunuh.
Kasus itu berawal ketika jurnalis Detikcom menulis berita tentang rencana Jokowi akan membuka mal di Bekasi di tengah pandemi Covid-19. Padahal, informasi yang diperolehnya itu berdasarkan pernyataan Kasubbag Publikasi Eksternal Humas Setda Kota Bekasi, dan direkam oleh si jurnalis.
Namun pernyataan Kasubbag itu kemudian diluruskan oleh Kabag Humas Pemkot Bekasi, yang menyebut bahwa Jokowi hanya meninjau sarana publik di Kota Bekasi dalam rangka persiapan new normal setelah PSBB. Klarifikasi itu pun telah dipublikasi Detikcom dalam bentuk artikel.
Intimidasi terhadap si penulis berita tersebut dimulai di media sosial. Nama penulis yang tercantum di dalam berita pun menyebar di internet, dari Facebook hingga Youtube. Salah satu akun yang menyebarkan adalah Salman Faris. Dia mengunggah beberapa screenshot jejak digital penulis untuk mencari-cari kesalahannya, meskipun isinya tak terkait berita yang dipersoalkan. Selain itu, Situs Seword juga melakukan hal serupa dan menyebarkan opini yang menyerang penulis dan media.
Cara ini dikenal sebagai doxing, yaitu upaya mencari dan menyebarluaskan informasi pribadi seseorang di internet untuk tujuan menyerang dan melemahkan seseorang atau persekusi online. Doxing adalah salah satu ancaman dalam kebebasan pers.
Doxing terhadap jurnalis bukanlah hal yang baru. Sebelumnya ada lima kasus jurnalis yang mengalami doxing terkait pemberitaan.
Tiga kasus doxing terjadi pada tahun 2018. Diantaranya, jurnalis Detik.com didoxing karena berita tentang pernyataan juru bicara Persaudaraan Alumni 212 Novel Bamukmin dan saat meliput peristiwa yang disebut “Aksi Bela Tauhid”. Lalu jurnalis Kumparan.com dipersekusi karena tidak menyematkan kata 'habib' di depan nama Rizieq Shihab dalam beritanya. Kemudian doxing terhadap jurnalis CNNIndonesia.com terkait berita berjudul “Amien: Tuhan Malu Tak Kabulkan Doa Ganti Presiden Jutaan Umat”.
Satu kasus terjadi pada September 2019 yang dialami Febriana Firdaus, jurnalis yang melaporkan untuk Aljazeera. Febriana didoxing dan diteror karena pemberitaan terkait kerusuhan di Papua.
Kemudian pada awal Januari 2020 doxing juga dialami oleh jurnalis Kompas.com, Jessi Carina terkait pemberitaan soal 'Gubernur DKI Rasa Presiden'.
Namun, hingga kini belum ada satupun kasus yang diusut tuntas oleh aparat penegak hukum hingga para 'pelakunya diadili sesuai aturan yang berlaku. Padahal dalam menjalankan tugasnya, seorang jurnalis mendapat perlindungan hukum sebagaimana diatur dalam UU Pers. (son)