Setujuhkan Anggota Legislatif Maju Pilkada Tak Harus Mundur ?

JAKARTA (Bisnisjakarta)-
Badan Legislasi (Baleg) DPR sedang menggodok aturan yang membuka pintu bagi anggota DPR maupun DPRD tidak harus mundur saat mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Meski Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan melarang namun DPR tetap bersikukuh untuk memasukkannya melalui pasal revisi UU Pilkada secara terbatas.

Ketua Baleg DPR Supratman Andi Atgas mengatakan pihaknya telah menerima sejumlah usulan terkait persoalan itu dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU). "Seperti ADEKSI yang mengajukan supaya syarat pencalonan anggota DPRD tidak perlu mundur. Mereka mengacu pada keputusan MK. Karena MK memutuskan supaya pembentuk UU mewajibakan bagi PNS, TNI dan Polri untuk mundur.  Oleh karena itu, PNS, TNI dan Polri tidak perlu mundur agar tidak ada diskriminasi di masyarakat," ucap Supratman di Jakarta, Minggu (23/6).

Menurut Supratman, saat rapat dengar pendapat dengan ADEKSI (Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia) mayoritas anggota fraksi di Baleg yang hadir memiliki keinginan dan semangat sama agar anggota DPRD maupun DPR yang maju di pilkada tidak harus mundur.

Ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf s UU 10 Tahun 2016 tentang Pilkada sebelumnya pernah diuji materi (judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK). Ketika itu, anggota DPRD Riau Abdul Wahid selaku pemohon menilai syarat pengunduran diri bagi anggota legislatif tidak dapat disamakan dengan syarat bagi anggota TNI, Polri, dan PNS.

Selain itu, pemohon juga menilai bahwa Pasal a quo telah berlaku diskriminatif terhadap pejabat penyelenggara negara yang akan maju dalam pilkada. Jika anggota legislatif harus memberitahu secara tertulis mengenai pengunduran dirinya sejak ditetapkan sebagai paslon, lain halnya dengan gubernur atau wakil gubernur petahana yang cukup mengajukan cuti di luar tanggungan negara.

Namun dalam pertimbangannya, MK seperti dibacakan Hakim Anggota Aswanto saat dipersidangan menyatakan bahwa mahkamah pernah memutuskan soal ketentuan persyaratn calon kepala daerah bagi anggota legislatif melalui Putusan Mahkamah Nomor 33/PUU/XIII/2015.

Putusan tersebut kemudian dijadikan dasar bagi pembentuk UU dalam merevisi UU 8/2015 tentang Pilkada. Maka, mahkamah menilai permohonan pemohon tidak relevan lagi untuk mempersoalkan norma tersebut.

Pertimbangan lainnya, menurut Hakim  Aswanto, mahkamah juga pernah mengeluarkan putusan Nomor 17/PUU-VIII/2008 yang menyatakan bahwa bagi seseorang yang terpilih sebagai kepala daerah, undang-undang telah memberikan hak untuk memegang masa jabatan.

Mengenai adanya putusan MK tersebut, Supratman menegaskan ada pertimbangan lain dari ADEKSI seperti dalam proposal yang diterima Baleg yaitu adanya diskriminasi dan asas keadilan antara angggota DPRD dan DPR di ranah legislatif dengan para kepala daerah yaitu bupati/walikota dan gubernur di ranah eksekutif. Karena DPRD dan DPR diharuskan mundur sementara kepala cukup hanya dengan mengajukan cuti di luar tanggungan negara.

Ke depan, menurut anggota Komisi VI DPR ini, DPR akan mengusulkan klausul ini dalam revisi terbatas di luar Program Legislasi Nasional (Prolegnas). "Kalau melalui propenas prosesnya akan sangat lama," ujarnya.

Menurutnya, kalau semua fraksi di DPR bersepakat maka bisa ditunjuk inisiator rancangan undang-undang revisi UU Pilkada yang akan merevisi tangan untuk pasal dimaksud.

Supratman mengatakan revisi terkait pasal tersebut diharapkan bisa tetap selesai pada periode keanggotaan DPR saat ini karena pada tahun 2020 akan ada lagi pilkada. Sehingga sangat disayangkan apabila ada angggota DPR maupun DPR periode 2019-2024 yang akan maju pilkada diharuskan mengundurkan diri padahal belum setahun menjadi angggota legislatif. (har)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button