Stimulus Diskon Tarif Pesawat Berpotensi Salah Sasaran

STIMULUS ratusan miliar rupiah dari Pemerintah untuk sektor penerbangan demi meminimalisir dampak penyebaran Virus Corona COVID 19 berpotensi salah sasaran.

Stimulus berupa diskon harga tiket penerbangan yang akan digulirkan dari Maret hingga Mei 2020 tersebut sampai saat ini belum disertai acuan yang jelas. Terutama terkait acuan tarif yang akan diberikan diskon.

Stimulus sudah ditetapkan pada rapat terbatas hari Selasa ( 25/2) di Jakarta yang dipimpin langsung oleh Presiden Joko Widodo.

Insentif untuk wisatawan mancanegara, berupa alokasi dana sebesar Rp298,5 miliar. Terdiri dari Insentif Airlines dan Travel Agent, Insentif dalam skema Joint Promotion, kegiatan promosi pariwisata  serta familiarization trip (famtrip) dan influencer.

Sedangkan stimulus untuk wisatawan domestik, berupa pemberian diskon 30 persen harga tiket untuk kuota 25 persen kursi di setiap penerbangan ke 10 tujuan wisata.

Stimulus akan dimulai pada bulan Maret hingga Mei 2020 di 10 kota destinasi wisata yaitu Denpasar, Batam, Bintan, Manado, Yogyakarta, Labuan Bajo, Belitung, Lombok, Danau Toba dan Malang.

Semua dana stimulus ini berasal dari APBN. Selain itu, juga akan ada tambahan diskon sebesar 15,8 persen Avtur dari Pertamina. Serta 5,64 persen diskon tarif penerbangan (PJP2u/PSC dan NAV) dari pengelola bandara (AP1 dan 2) serta Airnav.

Menurut siaran pers dari Ditjen Perhubungan Udara pada hari yang sama, nantinya penumpang akan menikmati diskon antara 40-50 persen dari tarif riil yang berlaku.

Pertanyaannya: Apakah  *tarif riil* penerbangan yang tertera dalam rilis tersebut, yang nantinya akan jadi acuan diskon tiket?

Tarif yang berlaku di penerbangan domestik, yang diatur dalam  Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 106 tahun 2019 tentang Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri, tidak mengenal tarif riil (satu harga) untuk satu rute penerbangan. Yang ada adalah tarif batas atas (tba) dan tarif batas bawah (tbb).

Tba adalah 100 persen untuk maskapai layanan penuh, 90 persen untuk layanan menengah dan 85 persen untuk makapai tanpa layanan. Sedangkan tbb adalah sebesar 35 persen dari tba masing-masing maskapai sesuai jenis layanannya.

Daya Beli Masyarakat

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi berkali-kali menyatakan bahwa tba dan tbb diformulasikan dengan memperhatikan daya beli masyarakat dan kesehatan maskapai. Jika tiket dijual dengan tba, diasumsikan masyarakat masih kuat membeli. Sebaliknya jika dijual dengan tbb, maskapai masih tetap mendapatkan keuntungan.

Maskapai bisa menjual tarif penerbangan di antara tba dan tbb. Namun dalam kenyataannya, maskapai menjual tiket dengan tarif bervariasi disesuaikan situasi dan kondisi saat itu.

Misalnya anda sekeluarga akan terbang dari Jakarta ke Surabaya pada hari Minggu depan, anda beli tiket sejak hari Selasa, istri beli tiket pada Rabu, anak-anak anda beli tiket pada hari Kamis dan Jumat, maka harganya bisa jadi berbeda walaupun untuk penerbangan yang sama.

Dalam dunia marketing, tiket pesawat masuk dalam barang perishable atau tidak tahan lama. Tiket harus terjual beberapa saat sebelum  penerbangan dilakukan. Tiket tidak dapat dijual lagi setelah itu.

Jadi, maskapai pun pasti akan selalu mencari jalan agar tiket selalu terjual, minimal hasil penjualan bisa menutup ongkos produksi (BEP). Jika tidak, maka akan jadi kerugian bagi maskapai tersebut.

Maskapai biasanya menjual tiket lebih murah saat masih jauh dengan jadwal penerbangan untuk menarik penumpang dan semakin mahal saat semakin dekat jadwal penerbangan. Namun bisa juga harga dibanting saat mendekati deadline jadwal terbang jika ternyata pendapatan belum memenuhi BEP. Tiket dijual murah agar bisa menutupi biaya.

Bagi maskapai berjadwal, jadwal penerbangan harus ditepati (dijalankan), karena kalau tidak akan kena sanksi dari regulator (pemerintah).

Terkait stimulus di atas, Pemerintah tentu harus cermat mengawasi agar stimulus tepat pada tujuannya, mengingat yang dipakai adalah uang rakyat melalui APBN.

Tarif Acuan

Untuk itu pemerintah harusnya memberikan tarif acuan bagi maskapai dan kemudian mengawasi secara ketat untuk menerapkan stimulus tersebut. Jangan hanya menyebutkan tarif riil yang sebenarnya tidak ada, dan kemudian menyerahkan acuannya pada maskapai.

Jika tidak ada acuan dan pengawasan dari pemerintah, maka stimulus tersebut berpotensi salah sasaran.

Bisa saja maskapai memakai acuan tba dan kemudian menguranginya dengan stimulus 30 persen sehingga menjual tiket dengan tarif 70 persen. Padahal sesuai aturan di atas, tarif maskapai adalah tba 100 persen hingga tbb 65 persen (35 persen dibawah tba). Jadi jika dijual 70 persen, maka itu berarti bukan diskon karena masih dalam koridor tarif tba-tbb yang ditetapkan pemerintah.

Jika ingin mencapai tujuan secara maksimal, tentunya yang harus jadi acuan adalah tbb, sehingga masyarakat benar-benar merasakan harga murah dan maskapai juga tidak dirugikan karena masih mendapatkan pemasukan sebesar tbb karena diskonnya sudah ditutup stimulus dari pemerintah.

Selain itu, tiket diskon ini juga harus ditawarkan pada kesempatan pertama. Dengan demikian tiketnya akan terserap sempurna oleh masyarakat. Jika tiket diskon ditawarkan diakhir mendekati jadwal penerbangan, bisa saja tiket tidak terserap sempurna atau cuma terserap sebagian.

Memang pengawasan di lapangan menjadi tugas berat bagi pemerintah. Tidak mudah mengawasi pergerakan sales maskapai penerbangan yang dinamis. Namun itu tetap harus dilakukan karena kebijakan publik yang dilakukan saat ini menggunakan uang rakyat melakui APBN. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan yang membawahi operasional transportasi udara nasional yang paling bertanggung jawab melaksanakan dan mengawasi stimulus ini agar tepat sasaran.

*Stimulus mendasar*

Sebenarnya, jika berbicara terkait stimulus pemerintah terhadap sektor penerbangan dalam hal ini maskapai, yang sesungguhnya lebih diperlukan adalah stimulus seperti yang dijanjikan pemerintah melalui Menko Perekonomian pada  Juni 2019 lalu.

Pada saat itu, Pemerintah menjanjikan insentif untuk menurunkan sewa pesawat,  pembebasan beaya masuk sparepart dan biaya pemeliharaan serta perawatan pesawat.

Selain itu yang dibutuhkan maskapai domestik adalah harga jual avtur yang kompetutif di seluruh Indonesia. Hal ini mengingat bahan bakar menyumbang sekitar 40 persen biaya operasional maskapai. Jika harga avtur bisa ditekan, biaya juga akan lebih rendah sehingga bisa mengurangi harga jual tiket.

Semua itu sebenarnya akan bisa berlangsung otomatis jika nilai tukar mata uang rupiah terhadap dollar AS diperkuat. Karena semua transaksi sewa pesawat, suku cadang dan avtur semuanya berdasarkan dollar AS.

Jika stimulus-stimulus mendasar ini bisa dipenuhi,  Pemerintah tidak perlu  memberi stimulus diskon harga tiket yang terlalu besar pada saat ada bencana seperti Virus Corana ini, karena maskapai nasional sudah lebih kuat secara ekonomi. (Gatot Raharjo) 

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button