DENPASAR (bisnisjakarta.co.id) – Merasa pengaduannya di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Regional 8 Bali Nusra tak ditanggapi dan tak mendapat perlindungan, sejumlah 52 debitur BPR Sri Artha Lestari (Lestari) akhirnya ngelurug dan mengadukan permasalahannya ke Kantor DPRD Badung, Selasa (18/1/2022).
Didampingi kuasa hukumnya, puluhan debitur korban BPR Lestari ini diterima langsung Ketua DPRD Badung Putu Parwata. Di hadapan Parwata, para debitur BPR Lestari ini mengadu karena selama ini mereka terhalang kebuntuan dalam mencari keadilan. Mereka mengaku merasa dijebak dan diperlakukan tidak adil dan transparan oleh BPR dengan aset terbesar kedua secara nasional itu.
“Kami dari berbagai kalangan mengalami permasalahan di mana dalam perjalanan usaha terjadi sesuatu yang merugikan kami, sehingga kami mengalami kegagalan berusaha yang dikategorikan bangkrut dan bahkan aset dilelang. Yang menjadi pertanyaan kenapa kami bisa bangkrut? Nah ini yang perlu didengar,” ujar salah satu debitur BPR Lestari, I Wayan Budiana yang dikenal sebagai pengusaha property tersebut.
Karena dibujuk, Budiana kemudian melakukan top-up Rp3 miliar. Perjanjiannya, pertama akan cair Rp 1,5 miliar, dilanjutkan Rp 500 juta sebanyak tiga kali. Faktanya yang bisa dicairkan hanya Rp700 jutaan. Sisanya dimasukkan ke rekening transaksional dan digunakan untuk membayar pokok cicilan, bunga serta lainnya yang tertunggak.
“Yang terjadi, pinjaman bertambah tetapi tak bisa digunakan untuk tambahan modal dalam berusaha. Hanya digunakan untuk bayar pokok dan bunga. Bagaimana pengusaha bisa berkembang,” ujarnya.
Selanjutnya debitur BPR Lestari lainnya, pengusaha UMKM seperti Hj. Musayana dan I Made Ngurah Bima mengaku pihaknya telah mengadukan nasib yang mereka alami ke penegak hukum serta melapor ke OJK Regional 8 Bali Nusra namun hanya sekedar lewat tak mendapat pelayanan dan penyelesaian yang baik.
“Kami pengusaha yang berusaha secara legal, bayar pajak, kami juga sumber menampung tenaga kerja (naker) dalam menunjang perekonomian nasional termasuk bali, namun malah diperlakukan seperti ini,” keluh para debitur kepada Ketua DPRD Badung Putu Parwata.
Musayana menyatakan dipaksa untuk top up, karena tidak mampu membayar bunga yang besarnya hingga di atas Rp40 juta. Pengusaha ini minta keringanan untuk bisa bayar sekitar Rp30 juta sesuai kondisinya terakhir.
“Saya dipaksa untuk top up tapi saya bersikukuh tidak mau. Namun teror pun terus saya rasakan. Selanjutnya, rumahnya yang menjadi agunan sudah ditempeli selebaran bahwa rumah itu dalam pengawasan dan akan disita,” keluhnya sembari terisak.
Terkait keluhan ini, Ketua DPRD Badung Putu Parwata mengatakan, permasalahan para debitur ini adalah salah satu tindakan diskriminasi dan tindakan tidak terpuji yang dilakukan oleh BPR Lestari sehingga harus diluruskan. Pendirian perbankan termasuk BPR menurutnya justru untuk menolong masyarakat dari sisi permodalan.
“Bank devisa, bank umum, BPR termasuk koperasi untuk memberi pendampingan pengusaha terutama pengusaha yang masuk kategori UKM yang modalnya di bawah Rp5 miliar. Di sinilah peran dari perbankan,” tegasnya.
Kebijakan top up, tandasnya, justru ada dugaan untuk menyelamatkan perbankan tetapi merugikan masyarakat. Kebijakan ini seolah-olah menolong tetapi justru menjebak. Karena itu, Parwata menyatakan akan segera bersurat kepada Kapolda Bali, Kajati, serta OJK untuk meluruskan hal-hal seperti ini sehingga tidak merugikan pihak lain.
“Kami akan bersurat ke OJK, bila perlu ke Presiden juga,” ancam politisi PDI Perjuangan asal Dalung Kuta Utara tersebut.
Ia pun meminta debitur untuk tidak takut mencari keadilan. Selain itu, dia juga minta masyarakat berhati-hati terhadap kebijakan perbankan.
“Harus waspada sehingga tak sampai terjebak,” ujarnya sembari meminta tim hukum DPRD untuk membuat resume yang akan dikirim ke pihak-pihak terkait.
“Untuk kasus BPR Lestari ini tentu ada dugaan-dugaan yang memang disengaja untuk menyelamatkan bank itu sendiri, tetapi merugikan debitur sehingga perlindungan debitur sangat rendah sekali, sampai- sampai OJK seolah-olah menyepelekan dan tidak mendengar apa-apa padahal sudah dilakukan penyampaian keluhan aspirasi,” nilai Parwata.
Sementara terkait banyaknya aset debitur BPR Lestari yang dilelang dan dibeli sendiri oleh oknum pegawai BPR Lestari, Putu Parwata kembali menegaskan, AYDA (Aset Yang Diambil Alih) itu baru-baru saja diberikan kewenangan oleh pemerintah kepada BPR untuk menerapkannya.
“Tapi saya tidak tahu BPR Lestari dari kapan ia menerapkan AYDA nya karena kalau tidak salah AYDA itu sejak 3 bulan yang lalu baru diberikan kewenangan kepada BPR untuk melakukan hak dan wewenangnya secara mandiri. Coba dicek ke BPR Lestari, jangan-jangan praktiknya sudah dilakukan BPR Lestari sebelum kewenangan pemerintah itu diberikan,” singgungnya.
Model Top Up yang kerap ditawarkan BPR Lestari kepada debiturnya menurut Putu Parwata patut diduga itu praktik rekayasa yang aneh. Adanya dugaan-dugaan praktik perbankan yang dianggap menyimpang dari regulasi yang ada dan diterapkan BPR Lestari menunjukkan suatu kebenaran dan ini berbahaya.
“Harusnya kalau debiturnya tidak memiliki rasio untuk membayar iya kenapa mesti Top Up. Iya betul ada kesepakatan, tapi analisis keuangan khan harus menjadi prioritas jangan dijebak-jebak. Seolah-olah menolong tetapi menyelamatkan diri sendiri tetapi menjebak debitur dan ini tidak boleh dilakukan oleh bank. Itu artinya sudah keluar dari fungsi bank. Fungsi bank khan untuk menumbuhkan perekonomian untuk itulah Indonesia membuat bank supaya masyarakatnya bisa ditolong,” papar Parwata.
Kuasa hukum yang mendampingi para debitur ini Wayan Gede Mardika dan I Made Kariada meminta pemerintah untuk memberikan atensi. Patut diduga ada praktik perbankan yang merugikan masyarakat. Masalahnya, debitur sudah kesulitan membayar kewajiban kok disuruh tambah kredit lagi.
“Seharusnya debitur diberikan keringanan sesuai dengan kebijakan restrukturisasi yang dikeluarkan pemerintah,” pungkas Mardika. *gde