
Dirjen Budi melanjutkan, kepedulian para pelaku usaha angkutan barang ataupun pemilik barang terhadap kebijakan stop ODOL semakin meningkat, karena sebenarnya kebijakan itu berujung pada keselamatan. Selain itu juga perlu ditekankan terkait kecepatan kendaraan yang tidak bisa maksimal karena muatan overload, dan juga kerusakan jalan yang ditimbulkan. Kementerian PUPR merilis, setidaknya setiap tahun negara harus mengeluarkan 43 Triliun untuk memperbaiki kerusakan jalan akibat pelanggaran muatan lebih.
Di Jembatan Timbang Kulwaru, dalam kurun waktu satu bulan terakhir ini, tidak ditemukan adanya pelanggaran overload hingga 100%. "Kalau pelanggaran dimensi, sesuai dengan skema dan prosedur yang sudah kita berlakukan, kendaraan yang terbukti melanggar akan diberi tanda batas potong dengan cat semprot,” kata Dirjen Budi. “Setelah diberi tanda, diharapkan dari pelaku usaha sendiri yang memotong, bukan dari kami,” lanjutnya.
Sejak 1 Agustus 2018, Kementerian Perhubungan menindak pelanggaran overload 100% dengan menurunkan muatan. Untuk kendaraan pengangkut sembako diberikan toleransi kelebihan muatan hingga 50%. “Untuk pengangkut sembako (beras, air mineral, minuman ringan, dsb) kalau pelanggaran overload tidak sampai 50%, masih kita toleransi. Tapi kalau lebih dari itu, saya tilang,” kata Dirjen Budi. Sedangkan untuk kendaraan pengangkut pupuk, semen, besi, baja, diberikan batas toleransi 40%. Agar tidak mengganggu arus distribusi barang, kendaraan yang melakukan pelanggaran overload yang lebih dari 100%, komoditi apa pun, kelebihan muatannya dapat dipindahkan ke kendaraan pengangkut yang lain.
Dirjen Budi mengungkapkan pihaknya menawarkan setidaknya terdapat 2 solusi bagi pelaku usaha angkutan barang dan pemilik barang untuk mematuhi regulasi tersebut. Pertama, dengan menambah jumlah kendaraan pengangkut. Kedua, dengan teknologi sarana kendaraan bermotor, melalui penambahan axle (sumbu roda yang fleksibel). Secara teknis, penambahan axle pada kendaraan pengangkut akan meningkatkan kapasitas daya angkut.
Kemudian terkait pungli, Dirjen Budi menjelaskan, semenjak jembatan timbang ditangani pemerintah pusat, sistem dibenahi, mekanisme kerja diubah. Jembatan Timbang dikembalikan pada filosofis awalnya, sebagai tempat untuk pengawasan. "Saat ini telah diterapkan tilang elektronik (e-tilang), pelanggar langsung membayar ke bank, atau menggunakan mesin EDC (Electronic Data Capture). Denda yang bayarkan adalah denda maksimal, namun jika setelah pengadilan vonis dari hakim dibawah denda maksimal, kelebihannya langsung ditransfer ke rekening yang bersangkutan," paparnya.
Selain menerapkan e-tilang, Jembatan Timbang juga dipasangi CCTV yang dapat dipantau dari pusat. Kementerian Perhubungan juga melibatkan pihak swasta dalam pengelolaan Jembatan Timbang. “Surveyor Indonesia adalah pihak ketiga yang kita libatkan ke Jembatan Timbang untuk bersama mengawal pengelolaannya benar-benar dilaksanakan sesuai SOP yang berlaku,” ungkap Dirjen Budi. Diharapkan dengan hal-hal tersebut, praktek pungli tidak terjadi lagi.
Terobosan lain juga dilakukan Kementerian Perhubungan demi perbaikan kinerja Jembatan Timbang. “Yang kita lakukan di Riau dan Palembang, semua ditangani swasta, mulai dari membangun gedungnya hingga petugas operasional pelaksanaannya semua swasta, yaitu dengan skema KPBU AP (Kerjasama Pemerintah Badan Usaha Availability Payment). Pihak swasta membangun Jembatan Timbang, menyiapkan petugas operasional, kemudian mendapatkan kontrak pengawasan jalan sekaligus proyek perbaikan jalannya,” jelas Dirjen Budi.
Dirjen Budi berharap, petugas Jembatan Timbang juga mengemban tugas edukasi pada masyarakat. Selain itu menurutnya, pada setiap Jembatan Timbang diperlukan pendampingan dari kepolisian, hal ini diperlukan untuk mengatasi permasalahan diluar kewenangan PPNS di Jembatan Timbang. (son)