
Para aktivis menyatakan terjadi kondisi gawat darurat bermatematika pada anak-anak usia SD hingga SMU. Kondisi ini dikhawatirkan berdampak pada kemampuan anak-anak dalam berpikir dan bernalar, serta menyelesaikan permasalahan sehari-hari. "Yang disebut gawat darurat adalah bahwa kemampuan matematika tidak berkembang seiring bertambahnya tingkat sekolah yang diikuti anak-anak dan penurunan yang terjadi dari tahun ke tahun,” ujar peneliti RISE Niken Rarasati dalam Deklarasi Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Matematika (Gernas Tastaka) di Universitas Indonesia (UI) Depok, Sabtu (10/11).
Hadir dalam deklarasi tersebut Rektor Universitas Indonesia Prof. Muhammad Anis, mantan Wakil Menteri Pendidikan Prof. Dr. Fasli Djalal, praktisi Indra Charismiadji, dan para peneliti dari RISE (Research on Improvement of System Education) Niken Rarasati, peneliti dari Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan Chandra, akademisi Ditta Puti Sarasvati, Ketua Forum Literasi Jakarta Sururi Azis, dan Presidium Gernas Tastaka Ahmad Rizali yang juga Sekretaris Majelis Wali Amanah UI.
Deklarasi dilakukan agar bangsa Indonesia tidak mengalami keterpurukan di masa yang akan datang. Oleh karena itu para aktivis dari berbagai latar belakang dan akademisi mendeklarasikan Gernas Tastaka.
Menurut Niken, jika kondisi ini terus dibiarkan, maka generasi emas Indonesia terancam gagal membangun peradaban Indonesia di masa yang akan datang.
Dari penelitian terbaru Program RISE di Indonesia menunjukan bahwa kemampuan siswa memecahkan soal matematika sederhana tidak berbeda secara signifikan antara siswa baru masuk sekolah dasar dan yang sudah tamat SMA (Hasil studi Program RISE Tahu 2018).
Dalam pandangan Niken, bersekolah belum tentu belajar. Yang juga mengkhawatirkannya, kondisi siswa menunjukkan stagnasi kemampuan siswa seiring meningkatnya jenjang pendidikan, sekaligus terjadi juga penurunan kemampuan siswa secara bertahap dari tahun 2000 ke tahun 2014.
Rendahnya kemampuan numerasi siswa di Indonesia bukan lagi berita baru. Hasil PISA tahun 2000 hingga 2015, secara konsisten menempatkan siswa-siswa kita yang berusia 15 tahun pada peringkat bawah dibandingkan negara-negara anggota OECD lainnya (OECD, 2014).
Menilik lebih dalam dari rendahnya hasil PISA ini, ditemukan bahwa anak-anak Indonesia ternyata belum mampu menerapkan pengetahuan prosedural matematika ke dalam permasalahan yang dihadapinya sehari-hari. Hasil ini juga dikonfirmasi oleh hasil-hasil tes internasional lain seperti TIMSS .
Gawat darurat bermatematika (literasi matematika) juga ditunjukkan dalam studi pemerintah yang dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui program INAP (Indonesia National Assesment Program) yang kemudian berubah namanya menjadi AKSI (Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia).
Studi INAP (Indonesian National Assessment Program) yang dilakukan Kemdikbud juga menjelaskan hal yang tak jauh berbeda. Pada 2016, kompetensi matematika siswa SD merah total. Sekitar 77,13% siswa SD di seluruh Indonesia memiliki kompetensi matematika yang sangat rendah (kurang), 20,58% cukup dan hanya 2,29% yang kategori baik.
Setelah berubah nama menjadi AKSI (Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia), pemerintah kembali melakukan studinya. Hasilnya tidak bergerak signifikan. Kali ini asesmen dilakukan untuk siswa SMP kelas VIII pada 2017 di dua provinsi.
Hasil kompetensi literasi matematika rerata hanya 27,51. Dari skor 0-100, hasil asesmen itu sangat buruk.
Kondisi kegawatdaruratan ini belum juga beranjak sejak tahun 2000 silam. Data IFLS (Indonesia Family Life Survey) pada 2000, 2007 dan 2014 yang mewakili 83% populasi Insonesia juga menunjukkan kedaruratan bermatematika.
Kedaruratan terjadi karena jumlah responden yang memiliki kompetensi kurang sangat tinggi. Lebih dari 85% lulusan SD, 75% lulusan SMP dan 55% lulusan SMU hanya mencapai tingkat kompetensi siswa kelas 2 ke bawah. Hanya sedikit saja yang memiliki tingkat kompetensi kelas 4 dan 5. "Survey IFLS ini menunjukkan kemunduran kompetensi siswa secara akut. Kita tidak boleh mengabaikan temuan-temuan ini jika bangsa Indonesia ingin lebih baik, tidak bangkrut atau bubar karena kualitas SDM bangsa ini dari tahun ke tahun mengalami penurunan signifikan,” kata Presidium Gernas Tastaka, Ahmad Rizali.
Rizali mengungkapkan, selama hampir 20 tahun reformasi, bangsa ini mengabaikan kompetensi generasi emas Indonesia. "Akibatnya kondisi sosial politik dan ekonomi Indonesia selalu tertinggal dengan negara-negara maju," ujarnya.
Rizali mengajak seluruh komponen masyarakat bersinergi dan saling gotong royong melakukan usaha pnerantasan buta matematika ini. Tidak hanya pemerintah tapi juga masyarakat luas. Bukan hanya praktisi pendidikan tetapi juga mahasiswa, profesional, swasta, bahkan emak-emak ibu rumah tangga. "Sebelum terlambat, mari kita bergerak bersama-sama menyelamatkan generasi emas bangsa Indonesia,” ajaknya.
Pada tahap awal, Gernas Tastaka berkomitmen segera melakukan berbagai pelatihan di sekolah-sekolah di DKI Jakarta, melatih relawan, dan berencana mendeklarasikan Gernas Tastaka di sejumlah provinsi dan kabupaten di Indonesia. Ia berharap semua pihak bisa bergabung bersama-sama Gernas Tastaka untuk memberantas buta bermatematika agar bisa membangun generasi bangsa Indonesia setara dengan generasi bangsa di negara-negara maju.
Menurut Rizali, reformasi pendidikan terutama dalam hal sertifikasi, pelatihan, dan pemantauan kompetnesi guru sudah digalakkan pemerintah sejak 20 tahun terakhir. Namun tampaknya masih perlu usaha yang menyasar langsung pada kemampuan guru dalam memahami konsep dasar matematika dan bagaimana cara mengajarkannya. (har)