Aspek Hukum Tarif Transportasi Udara di Indonesia

MENJELANG lebaran  Idul Fitri 1440 H harga tiket dinilai oleh masyarakat sangat tinggi, karena itu Presiden Joko Widodo (Jokowi) ingin maskapai asing terbang di Republik Indonesia (RI) sebagai reaksi Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi akan mengkaji ide presiden untuk mendatangkan maskapai asing untuk bersaing di Indonesia, sebab harga tiket pesawat udara hingga saat ini tak kunjung turun. Sehubungan dengan berita tersebut, penulis bermaksud menjelaskan aspek hukum tarif transportasi udara sebagai berikut.

Kebijakan Ekonomi Transportasi Udara

Kebijakan (policy) ekonomi transportasi udara (rute penerbangan, frekuensi penerbangan, jenis pesawat udara, kapasitas tempat duduk dan tarif angkutan udara), tidak lepas dari ideologi politik Indonesia. Ideologi politik pada masa orde lama di bawah pimpinan Presiden Sukarno cenderung sosialis, karena itu ekonomi transportasi udara diatur dan dikuasai oleh negara. Menteri Perhubungan Udara (Komodor Iskandar), mengatur rute penerbangan, frekuensi penerbangan, jenis pesawat udara, jumlah tempat duduk (kapasitas), tarif angkutan udara, operatornya dilakukan oleh perusahaan penerbangan milik pemerintah masing-masing Garuda Indonesian Airways (GIA) dan Merpati Nusantara Airlines (MNA), tidak ada perusahaan penerbangan milik swasta.

Pada masa orde baru ideologi politik mulai neo-liberal, gabungan antara ideologi sosialis dengan ideolog liberal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967, tentang Penanaman Modal Asing (PMA), kebijakan transportasi udara limited multi-airlines system, berdasarkan kebijakan tersebut lahirlah perusahaan penerbangan swasta, tetapi jumlah perusahaan penerbangan swasta dibatasi.

Perusahaan penerbangan milik pemerintah (GIA) melayani rute nusantara (trunk lines), sedangkan perusahaan penerbangan swasta melayani rute pengumpan (feeder line) dan MNA melayani rute regional (supplement), GIA boleh mengenakan tarif normal, swasta  mengenakan tarif 15% di bawah tarif GIA, tetapi GIA dapat 15% lebih tinggi dari tarif normal apabila menggunakan pesawat udara Airbus, hanya GIA yang boleh menggunakan pesawat udara jenis jet, perusahaan penerbangan swasta hanya boleh menggunakan pesawat baling-baling (propeller). Menjelang berakhirnya orde baru, perusahaan penerbangan swasta menuntut persamaan perlakuan dengan perusahaan milik pemerintah (GIA).

Pada masa era reformasi, mulai  tahun 2004, kebijakan transportasi relaksisasi, perusahaan penerbangan bermunculan, membuat perusahaan penerbangan sangat mudah, tanpa modal, tanpa kantor, tanpa personil kompeten, persaingan tarif bebas di bawah rekomendasi pemerintah, kecelakaan bertubi-tubi di tandai kecelakaan Lion Air di Solo, Garuda Indonesia 421 di Bengawan Solo, kecelakaan Garuda Indonesia di Yogyakarta, dilanjutkan Adam Air di Surabaya dan ditutup oleh kecelakaan Adam Air di Sulawesi tanggal 1 Januari 2007, ICAO meng-audit Indonesia, hasilnya kategori II, diikuti larangan terbang ke Eropa.

Kondisi transportasi pada saat itu, sangat memprihatinkan, sebab naik kereta api tabrakan, naik kapal laut tenggelam dan naik pesawat udara jatuh, masyarakat jadi bingung, transportasi di Indonesia perlu diruwat.

UU No 1 Tahun 2009

Kebijakan relaxisasi tersebut tidak dapat dipertahan oleh  UU No 1 Tahun 2009, filosofi Undang-Undang Penerbangan, perusahaan penerbagan harus kuat, tidak perlu banyak, sedikit saja tetapi mampu bersaing pada tataran nasional, regional, global dan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional, karena itu untuk mendirikan perusahaan penerbangan harus memenuhi 5 pilar masing-masing mempunyai 10 pesawat udara, 5 dimiliki dan 5 dikuasai; mempunyai modal yang cukup; jaminan bank; sumber daya manusia yang kompeten, dan single majority shares yang di dukung prinsip-prinsip operasi penerbangan yaitu keselamatan, keamanan, regulated industry, compliances, law enforcement, high technology dan just culture. Kebijakan transportasi udara kembali lagi neo-liberal yang merupakan gabungan ideologi sosial dan liberal.

Berdasarkan ideologi neo-liberal tersebut tarif ekonomi diatur oleh penerintah untuk melindungi masyarakat banyak sedangkan tarif non-ekonomi berlaku hukum pasar (supply and demand) untuk menjamin kelangsungan hidup (sustainability) perusahaan penerbangan.

Di dalam pengaturan tarif ekonomi tersebut terdapat persaingan berdasarkan rute penerbangan, persaingan berdasarkan jenis pesawat udara, persaingan berdasarkan pelayanan dan persaingan berdsarkan tarif. Perusahaan penerbangan dapat bersaing pelayanan yang diberikan full services, medium services dan no-frill services, tetapi harus memperhatikan rambu-rambu yang ditetapkan oleh pemeritah.

Persaingan dalam tarif yang paling hebat adalah tarif berdasarkan jam keberangkatan yang paling mahal berangkata jam 4.30 pagi sampai jam 9.30 sedangkan yang paling murah berangkat jam 12.00 sampai jam 15.00, tarif berdasarkan hari keberangkatan yang paling murah hari Selasa, Rabu dan Kamis sedangkan yang paling mahal hari Jumat, Sabtu, Minggu dan Senen, persaingan berdasarkan bulan keberangkatan yang paling mahal bulan libur sekolah, tahun baru, Idul Fitri dan Christmas serta bulan-bulan libur lainnya.

Di samping itu, masih adap berbagai jenis tarif misalnya tarif promo, tarif normal, tarif fleksibel, bebas tarif dll. Semua perusahaan penerbangan bebas menentukan tarif, tetapi kebebasan tersebut dibatasi batas atas dan batas bawah, kalau tarif melebihi batas atas berarti merugikan penumpang, tetapi kalau tarif lebih rendah batas bawah akan membahyakan keselamantan penerbangan. Semua tarif yang ditawarkan harus transparan tidak melanggar rambu-rambu pemerintah.

Perusahaan penerbangan bebas menentukan tarif non-ekonomi, untuk menjamin kelangsungan hidup perusahaan penerbangan, berlaku hukum pasar (supply and demand), karena itu jangan kaget kalau ada perusahaan penerbangan memasang tarif Jakarta-Schippol di Belanda seharga US$ 6,500.00 (enam ribu lima ratus dollars) dan Jakarta – Solo memasang harga Rp.4.700.00 (empat juta tujuh ratus ribu rupiah), tetapi pemerintah menentukan hanya beberapa kursi saja sekedar untuk membantu kelangsungan hidup perusahaan penerbangan. Di dalam kebijakan neo-liberal (orang lain mengatakan jalan tengah) sudah benar karena sesuai dengan perkembangan teknologi penerbangan (melinial era 4.0), bahkan China sendiri semula sepenuhnya ideologi sosial, sekarang menerapkan neo-liberal dengan munculnya perusahaan penerbangan milik swasta, walaupun tidak sepenuhnya milik swasta.

Rekomendasi Masyarakat perlu memahami pengaturan tersebut, mereka harus jeli mengikuti perkembangan dunia transportasi udara, oleh karena itu apabila mencari harga tiket yang murah pilihlah jam, hari dan bulan keberangkatan, jangan pesan mendadak, harus jauh-jauh hari direncanakan, teknologi tinggi dapat membantu, tidak perlu first class atau business class, cukup economy class saja karena fungsi transportasi udara sekarang bukan untuk mewah-mewahan, kecuali banyak uangnya dapat menyewa helikopter sendiri untuk lebaran demi kenikmatan atau mudik lainnya, tidak perlu membawa barang-barang bawaan yang tidak penting, Beradasarkan pasal 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009, regulator mengawasi pelaksanaan transportasi udara baik rute penerbangan, prekuensi penerbangan, tempat duduk yang disediakan, tarif yang dikenakan, sedangkan kepada airlines wajib mematuhi regulasi yang telah ditetapkan undang-undang penerbangan dengan resiko dikenakan sanksi oleh regulator atau kalah dalam persaingan.

Oleh :
Martono K. Guru Besar Hukum Udara Universitas Tarumanagara,
Capt.Toto Subandoro, Praktisi Penerbangan

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button