JAKARTA (Bisnis Jakarta) – Kemenangan partai oposisi Malaysia yang dipimpin Mahathir Mohamad pada pemilu yang digelar Malaysia, Rabu (9/5/2018) adalah dampak evaluasi kinerja pemerintahan PM Najib Razak yang dinilai kurang memuaskan oleh mayoritas masyakarat Negeri Jiran tersebut.
“Rumus politik rasional selalu begitu. Semakin baik kinerja pemerintah, oposisi semakin tidak laku. Sebaliknya, semakin pemerintah tidak becus dan korup, oposisi semakin mendapat angin surga untuk menumbangkannya,” kata anggota Komisi I DPR Charles Honoris di Jakarta, Jumat (11/5).
Anggota Komisi DPR yang membidangi pertahanan dan hubungan luar negeri itu berpendapat kemenangan tersebut tidak semata karena kinerja partai oposisi. Tetapi lebih pada kesadaran masyrakat di Malaysia dalam memandang kinerja pemerintahnya.
Buktinya, salah satu kritik yang tidak rasional, seperti politisasi isu SARA, seperti yang kerap diangkat UMNO dan PM Najib ketika berkampanye untuk menjatuhkan Mahathir Mohammad tidak terbukti sukses.
“Politisasi isu SARA terbukti tidak memiliki tempat dalam perpolitikan Malaysia dan terbukti tidak efektif mendulang suara, karena masyarakat Malaysia sudah cerdas,” ujarnya.
Publik di Malaysia dengan kesadaran politiknya menginginkan perubahan setelah banyaknya kasus yang dilakukan, PM Najib sejak memerintah sejak 2009, antara lain diduga terlibat skandal korupsi 1MDB yang merugikan negara hingga triliunan rupiah.
Oleh karena itu, Charles menegaskan insentif elektoral cenderung didapat kelompok oposisi manakala koalisi partai penguasa dianggap tidak beres menjalankan pemerintahan.
Rumus tersebut, kata Charles, juga bisa dibawa ke Indonesia. Namun, ia tidak melihat apa yang terjadi di Malaysia berdampak pada pemerintahan Joko Widodo. Sebab, sebaliknya publik di Indonesia melihat kepuasaan rakyat yang semakin tinggi terhadap kinerja Presiden Jokowi, seperti ditunjukkan sejumlah hasil survei, sehingga kejadian di Malaysia sulit terjadi di Indonesia.
“Bayangkan, pembangunan infrastruktur masih berjalan saja tingkat kepuasaan rakyat sudah begitu tinggi, apalagi kalau rakyat sudah merasakan dampaknya nanti?” kata Charles.
Oleh karena itu, kata Charles, pernyataan sejumlah politisi oposisi dalam negeri bahwa peristiwa politik di Malaysia akan ‘merembet’ ke Indonesia, jelas sulit terjadi selama kinerja pemerintahan Jokowi berjalan baik.
“Politik itu tidak bekerja di ruang hampa. Masak apa yang terjadi di negara tetangga disebut bisa merembet begitu saja, tanpa melihat faktor-faktor yang terjadi di belakangnya, seperti kinerja pemerintahan, efektivitas oposisi, dan sebagainya,” kata Charles.
Justru, kata Charles, oposisi terancam tidak laku manakala kinerja pemerintahan Jokowi-JK semakin memuaskan rakyat. “Apalagi jika kritik-kritik yang dilancarkan oposisi tidak substantif dan tidak rasional,” ujarnya.
Charles yakin politisasi isu SARA juga tidak akan terjadi dan tidak akan berpengaruh dalam Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 di Indonesia.
“Karena publik Indonesia semakin cerdas, dan sudah paham efek destruktif politisasi isu SARA yang pernah terjadi,” ujarnya.
Ia menjelaskan lPDI Perjuangan selaku partai pengusung pemerintahan Jokowi bisa memenangkan Pemilu 2014 lalu juga karena mendapat kepercayaan rakyat setelah pemerintahan sebelumnya berjalan tidak sesuai harapan. Apalagi, ujar dia, sejumlah petinggi partai penguasa sebelumnya banyak yang terjerat korupsi.
“Jadi, kemenangan PDI Perjuangan di 2014 adalah buah dari kerja politik ideologis selama 10 tahun, bukan hasil menunggu tanda-tanda zaman atau hasil rembetan,” tegasnya. (har)