
Kasubdit Penanggulangan Musibah dan Pekerjaan Bawah Air, Een Nuraini Saidah pada acara Konsinyering Pembahasan Ratifikasi Konvensi OPRC 1990 di Jakarta, Jumat (30/8) mengatakan, konsinyering ini merupakan langkah penting yang diperlukan sebagai bagian dari proses meratifikasi regulasi internasional, yaitu International Convention on Oil Pollution Preparedness, Response and Co-Operation 1990 atau biasa dikenal dengan nama Konvensi OPRC.
Substansi pokok dari Konvensi OPRC, kata dia, mengamanatkan kepada negara peserta dari Konvensi tersebut untuk mempersiapkan tindakan-tindakan yang diperlukan sebagai upaya kesiapsiagaan dalam hal terjadi musibah pencemaran khususnya oleh minyak di laut. Selain itu, guna mendukung kelancaran dan keberhasilan upaya penanggulangan pencemaran minyak di laut, Konvensi OPRC juga mengamanatkan agar negara peserta Konvensi menjalin kerjasama penanggulangan pencemaran baik dalam lingkup nasional maupun kerjasama regional dan internasional dengan negara lain.
Beberapa kejadian tumpahan minyak di lautan Indonesia yang menjadi perhatian semua pihak dalam beberapa tahun terakhir antara lain adalah tumpahan minyak Heavy Crude Oil akibat Montara Whelhead Platform Blow Out milik Petroleum Authority of Thailand Exploration and Production (PTTEP) Thailand di Laut Timor wilayah perairan barat Australia pada tanggal 21 Agustus 2009 yang mencemari pantai selatan Nusa Tenggara Timur, tumpahan minyak dari kapal MT Alyarmouk yang bertubrukan dengan MV. Sinar Kapuas di Selat Singapura pada tanggal 2 Januari 2015 dan menyebar ke perairan Indonesia, tumpahan minyak MFO 180 dari MT Martha Petrol, kandas di lepas perairan Pantai Teluk Penyu, Cilacap pada tanggal 3 Mei 2015, puluhan ribu barel crude oil tumpahan minyak dari bocornya pipa bawah laut milik PT Pertamina RU V Balikpapan, di perairan Teluk Balikpapan pada tanggal 31 Maret 2018 dan kejadian yang baru-baru ini terjadi yaitu blowout sumur minyak non aktif MQ3 (Area Mike Mike Flowstation) PHE-ONWJ di Laut Jawa wilayah perairan Pamanukan, pada tanggal 23 November 2018 sekitar Pukul 07.00 WIB serta tumpahan minyak di Anjungan YYA-1 milik Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java yang sampai saat ini masih dalam proses penanggulangan.
Dalam konteks penanggulangan tumpahan minyak di laut, kata dia, Indonesia sudah mempunyai mekanisme koordinasi secara nasional dibawah Pusat Komando dan Pengendali Nasional Operasi Penanggulangan Keadaan Darurat Akibat Tumpahan Minyak di Laut sejak Tahun 2006 melalui penerbitan Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut.
Dalam Perpres Nomor 109 Tahun 2006 tersebut memuat mengenai keberadaan Tim Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut yang beranggotakan 13 Instansi Kementerian/Lembaga Pemerintah. Tim Nasional yang diketuai oleh Menteri Perhubungan beranggotakan yaitu KLHK, ESDM, Kemendagri, Kemenlu, KKP, Kemenkes, Kemenkeu, Kemenkumham, TNI, Polri, SKK Migas, BPH Migas, Gubernur dan Bupati/Walikota yang wilayahnya mencakup laut.
Adapun fungsi dari Tim Nasional tersebut, lanjutnya, adalah menetapkan pedoman pengembangan sistem kesiapsiagaan dan penyelenggaraan penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut, yang meliputi Protap Tier 3, penyediaan sarpras dan personil terlatih penanggulangan, penetapan persyaratan minimal kesiagaan sarpras dan personil penanggulangan di pelabuhan, terminal serta platform lepas pantai untuk penanggulangan tumpahan maupun untuk penanggulangan dampak lingkungan. (son)