DPR Kaji Urgensi UU Keuangan Digital

JAKARTA (Bisnisjakarta)- 

Kehadiran Keuangan Digital (financial technology/Fintech) yang lahir dari inovasi kemajuan teknologi informasi, memiliki nilai positif untuk  mendukung efisiensi perekonomian. Namun sebaliknya kehadiran Fintech berpotensi menjadi sumber resiko dan  dapat mempengaruhi stabilitas sistem keuangan nasional apabila tidak dikawal dengan ketentuan perundangan yang ketat. "Saat ini, dasar hukum penyelenggaraan Fintech dalam sistem pembayaran di Indonesia mengacu kepada berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh BI dan OJK. Kini sedang dikaji lebih mendalam perihal perlunya undang-undang mengenai sebagaimana yang pernah disampaikan OJK," ucap Ketua DPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) di Jakarta, Selasa (26/3).

Menurutnya, jika memang dari sisi dunia usaha, BI dan OJK sebagai regulator memerlukan UU yang khusus mengatur tentang Fintech, DPR RI sangat terbuka menerima berbagai masukan.

Sejauh ini, berbagai peraturan tentang Fintech tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia No. 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran, Surat Edaran Bank Indonesia No. 18/22/DKSP perihal Penyelenggaraan Layanan Keuangan Digital dan Peraturan Bank Indonesia No. 18/17/PBI/2016 tentang Uang Elektronik.

Ada juga Peraturan OJK No.77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (peer to peer landing), Peraturan OJK No.13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan, Peraturan OJK No.12/POJK.03/2018 tentang Penyelenggaraan Layanan Perbankan Digital oleh Bank Umum dan Peraturan OJK No.37/POJK.04/2018 tentang Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas (equity crowdfunding).

Sejumlah pihak ungkap Bamsoet, berharap pengaturan Fintech perlu dibuat lebih jelas dan ketat sehingga pengaturan tidak cukup hanya berbekal peraturan dari Bi dan OJK tetapi perlu dibentuk UU Keuangan Digital agar lebih kuat untuk mengikat semua pihak yang terlibat dalam aktifitas ini.

DPR tegas Bamsoet, selalu menekankan kepada BI dan OJK sebagai mitra kerja Komisi XI DPR RI agar mewaspadai berbagai perkembangan Fintech. Mengingat banyaknya aduan yang datang dari masyarakat kepada DPR RI perihal keberadaan Fintech yang justru bukan membantu, malah meresahkan masyarakat.

Antara lain, pelanggaran hukum pengambilan informasi pribadi, penyebaran data pribadi, masalah bunga pinjaman serta munculnya Fintech illegal. "Kita apresiasi Satgas Waspada Investasi bentukan OJK yang telah menghentikan lebih dari 200 Fintech ilegal," ujarnya.

Dalam berbagai rapat kerja dengan OJK, Bamsoet mengatakan Komisi XI selalu mengingatkan OJK untuk mengetatkan pengawasan. Bila perlu jangan hanya sekadar ditutup izin operasinya, melainkan ambil langkah hukum terhadap Fintech illegal sehingga membuat efek jera," jelas Bamsoet.

Dengan jumlah penduduk mencapai 265 juta jiwa, diakuinya membuat potensi market Indonesia terhadap Fintech sangat besar sekali. Hasil riset Oliver Wyman, lembaga konsultan manajemen internasional, mencatat potensi pembiayaan Fintech di Indonesia mencapai 130 miliar dolar AS.

Sebagian besar potensi itu ditargetkan bagi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Hal ini tidak mengherankan, karena banyak individu yang bergelut di UMKM banyak melakukan transasksi dengan jumlah yang tidak terlalu besar, namun intensitasnya cukup tinggi. "Kita tak ingin perkembangan teknologi informasi yang memudahkan transaksi pembayaran di masyarakat, khususnya bagi para pelaku UMKM, justru dimanfaatkan oleh Fintech illegal untuk mengeruk keuntungan dengan cara-cara kotor," tandasnya. (har)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button