
Kementerian Keuangan khususnya Badan Kebijakan Fiskal (BKF) dalam membuat kebijakan di bidang penarikan cukai khususnya cukai tembakau perlu melihat secara holistik atau komprehensif terkait perekonomian negara. "Bukan hanya dari sisi penerimaan untuk pemerintah pusat, tapi juga memperhatikan akibat turunannya apabila kebijakan tersebut diambil," kata Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Malang, Prof. Dr. Candra Fajri Ananda kepada pers usai diskusi ekonomi membahas Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 156/2018 di Jakarta, Rabu (11/9).
Chandra menegaskan, bukan hanya dari unsur kesehatan saja, tapi juga tingkat kesejahteraan masyarakat luas beserta pembangunan daerah. Sistem penarikan cukai yang diterapkan pemerintah saat ini merupakan sistem yang ideal dan diterima seluruh pelaku ekonomi. "Saya pikir BKF perlu melihat ulang kebijakan (Simplifikasi) ini dengan melihat banyak aspek, tidak hanya pada industrinya saja tapi mulai dari hulunya, tenaga kerja, pendapatan asli daerah juga pemerintah daerah. Sekitar 70% pemerintah daerah sangat tergantung kepada pengiriman dari pemerintah pusat. Salah satunya dana bagi hasil cukai tembakau atau DBHCT. Kalau sampai ada perubahan kebijakan di bidang penarikan cukai, akan terjadi penurunan pendapatan cukai karena ada perubahan sistem penarikan atau simplifikasi, itu bisa berbahaya bagi daerah. Pembangunan dan daerah bisa terbengkalai,” papar Candra.
Lebih lanjut, mantan ketua dekan Fakultas Ekonomi Bisnis perguruan tinggi negeri se Indonesia ini menyampaikan, sistem penarikan cukai yang terdiri 10 tier didasarkan atas ini sudah cukup ideal. Lewat sistem ini, target penerimaan cukai tercapai. "Dengan pengelompokan yang ada sekarang, hingga bulan Juli 2019, target cukai tembakau dari 159 triliun sudah tercapai 130 triliun. Target tahun 2020 mencapai sekitar Rp 170 triliun akan tercapai. Jadi kalau sudah bisa nyumbang sebanyak itu, mau diapain lagi? Ini sudah mendekati 100% kok targetnya, apa masalahnya? Kenapa sistem yang sudah baik, target sudah tercapai, ko diganggu ganggu,” tanya Guru Besar FEB Universitas Brawijaya Malang Jawa Timur ini.
Candra mengaku khawatir, jika sistem penarikan cukai yang sudah baik ini dirubah melalui mekanisme simplifikasi, dari 10 tier menjadi 5 tier, akan terjadi pengelompokan, yang semula pabrik rokok kecil membayar pajak atau cukainya kecil sesuai jumlah produksinya, dikelompokkan ke dalam kelompok yang ada di atasnya, sehingga harus membayar cukai yang lebih banyak di luar jumlah produksi dan di luar kemampuannya, yang kemudian akan mematikan industri rokok kretek terutama yang dikelola oleh para pengusaha atau pabrikan kecil.
Jika pabrik pabrik rokok rakyat menengah dan kecil mati, kata dia, maka akan mengurangi pendapatan negara dari cukai tembakau, menutup kesempatan kerja bagi masyarakat di daerah, mengurangi dana bagi hasil cukai tembakau buat pemerintah daerah dan mematikan perekonomian masyarakat daerah yang selama ini bergantung pada industri rokok.
Candra menjelaskan, jika Kemenkeu tetap memaksakan perubahan sistem penarikan cukai atau simplifikasi dari yang sudah baik saat ini, akan memancing amarah petani tembakau dan cengkih, pengusaha pabrik rokok kecil dan para buruh industry rokok rakyat di berbagai daerah. Bahkan, bukan tidak mustahil target cukai negara jadi berkurang drastis. "Jangan sampai nanti Presiden Joko Widodo, yang sudah memutuskan kebijakan yang sangat baik untuk menolak simplifikasi, menimbulkan protes dan demonstrasi dari para petani cengkih dan tembakau serta buruh rokok. Kementrian Keuangan dan BKF harus mendukung kebijakan kebijakan presiden yang sudah baik,” tegas Doktor ekonomi lulusan Jerman ini.
Selain itu, jika simplifikasi jadi dilakukan, pabrik rokok kretek kecil milik rakyat berpotensi tutup, sehingga akan memunculkan rokok-rokok ilegal. Jika pabrik rokok kecil tutup, kebutuhan rokok bagi masyarakat kecil tidak bisa dihentikan. Kesempatan ini akan dimanfaatkan oleh pelaku bisnis rokok ilegal. Kalau yang muncul rokok illegal, maka akan merugikan bukan hanya pemerintah daerah tapi juga pemerintah pusat. Sumber pendapatan negara dan pemerintah daerah jadi berkurang.
Faktor Kesehatan
Lebih lanjut, ayah empat anak ini menyampaikan, berdasarkan hasil analisanya, rencana kebijakan Kemenkeu khususnya BKF merubah sistem penarikan cukai atau simplifikasi, salah satu faktornya adalah untuk mengendalikan konsumsi rokok dalam rangka mengurangi jumlah rokok dan jumlah masyarakat yang mengkonsumsi rokok.
Namun tidak tertutup kemungkinan adanya hidden agenda atau agenda tersembunyi. Namun demikian, jika faktor utamanya adalah faktor kesehatan, pemerintah tidak mesti mematikan pabrik pabrik rokok yang kecil. Tapi dengan menggalakan kampanye kesehatan.
Candra sendiri enggan membahas apa hidden agenda dari wacana simplifikasi penarikan cukai. Dia lebih suka menganalisis apa yang bisa dianalisa dan dikaji oleh para pakar ekonomi dan kesehatan serta pertanian. “Kita bisa belajar dari negara negara di Eropa. Saat ini jumlah perokok di Eropa menurun drastis. Namun, apakah pemerintah negara negara Eropa mengeluarkan kebijakan yang menghentikan dan mematikan industri dan pabrik rokok,? Kan tidak. Seiring sejalan saja. Biarkan pabrik dan industri rokok berjalan, tapi kampanye kesehatan juga berjalan. Hukum dan peraturan ditegakkan. Nanti akan mengikuti hukum alam. Bukan pemaksaaan untuk memenuhi agenda tertentu tapi merugikan masyarakat banyak,” papar Candra.
Menurut Chandra, jika karena faktor kesehatan pemerintah lalu mematikan industri rokok, itu terlalu menyederhakan masalah. Menyederhanakan masalah tapi menimbulkan masalah baru. Itu sangat tidak bagus. Harusnya dari ilmu kebijakan publik, jika pemerintah mengeluarkan suatu kebijakan publik, maka harus meminimalisir masalah yang akan ditimbulkan dari masalah terdsebut. Bukan membiarkan masalah baru muncul. Kebijakan public tersebut harus dikomunikasikan kepada khalayak ramai sehingga dampak buruknya bisa diantispasi. "Jika pemerintah dengan alasan kesehatan masyarakat, membuat kebijakan kebijakan yang menuntut industri rokok kecil, mematikan rokok rakyat, sementara konsumen rokoknya masih banyak. Ini membuka kesempatan untuk adanya rokok import baik legal maupun illegal. Jika industry rokok rakyat di dalam negeri tutup lalu muncul rokok rokok impot baik legal maupun ilegal untuk menutup kebutuhan pasar rokok rakyat, kita dirugikan berkali kali. Pendapatan cukai kita tidak dapat. Kesempatan kerja buat masyarakat di daerah menjadi tertutup. Dan pemerintah sendiri menjadi susah mengontrol jumlah rokok yang beredar serta jumlah konsumen rokok. Apalagi kalau rokok importnya ilegal,” papar Candra.
Candra menyarankan, agar para pejabat kementrian keuangan khususnya pejabat Badan Kebijakan Fiskal, mengunjungi daerah daerah yang memiliki banyak pabrik rokok rakyat, perkebunan tembakau Bertemu dengan para petani, buruh dan dan pengusaha rokok kecil. Dari situ akan melihat dampak positif dari adanya industri rokok rakyat bagi masyarakat dan pemerintah daerah. Jangan hanya mengambil keputusan berdasarkan kajian kajian dari satu pihak saja. (son)