
Anggota Komisi VIII DPR RI, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo (Saras) memastikan pembahasan RUU PKS dilaksanakan setelah perhelatan Pilleg dan Pilpres 2019. Selain itu, DPR juga akan mendahulukan RUU yang masih senafas dengan RUU PKS yaitu RUU Praktik Pekerjaan Sosial (PPS). "Ya RUU PPS ini masuk lebih dahulu, jadi Prolegnas prioritas. Nah, RUU PKS baru saja," ucap Saras dalam diskusi forum legislasi “Progres RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS)?” di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (26/2).
Namun begitu, menurut keponakan Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto ini, kelompok-kelompok yang menolak RUU PKS akhir-akhir ini dinilai salah sasaran. Karena RUU itu baru disetujui Bamus (Badan Musyawarah) untuk disetujui sebagai RUU inisiatif DPR. Sehingga belum ada pembahasan di Komisi VIII DPR. “RUU PKS itu baru draft awal, dan adanya penolakan akhir-akhir ini mungkin respon atas draft yang belum dibahas sama sekali oleh panitia kerja (Panja) DPR. Lalu, apanya yang ditolak?” terangnya.
Karena itu kata politisi Gerindra itu, masukan dari masyarakat bisa disampaikan ke Komisi VIII DPR RI. RUU itu akan dibahas setelah reses atau setelah pilpres April mendatang. “Jadi, silakan masyarakat memberikan masukan terkait RUU PKS ini,” ujarnya.
Saat ditanya, kenapa Fraksi PKS menolak? Bukankah fraksi PKS mengetahui jika RUU itu belum dibahas? Rahayu mengatakan, hal itu sebaiknya ditanyakan ke fraksi PKS sendiri. “Bahwa RUU itu belum dibahas,” tegas politisi dari Partai Gerindra ini.
Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, Imam Nahei juga meyakini RUU PKS tidak akan tuntas disahkan di periode keanggotaan DPR yang akan berakhir tahun ini. "Ya, Mei 2019, baru dibahas oleh DPR. Saya memang tidak yakin bisa selesai sampai akhir 2019. Tapi kita tetap mendorong dikebut. Apalagi setelah pemilu lalu akan ada pelantikan anggota DPR yang baru," kata Imam.
Sebenarnya, kata Imam, Draft RUU PKS yang ada saat ini sudah 90% dalam keadaan 'matang'. Karena itu tinggal membahas yang kecil-kecil saja. Pembahasan menjadi mandeg, karena ada penolakan dari sejumlah elemen. "Mereka maunya, kasus perzinahan dan LGBT ini masuk sebagai ranah kejahatan, jadi mereka ini bisa dipidana," terangnya.
Menurut Imam, RUU PKS ini hanya mengatur masalah kekerasan seksual saja. Baik yang dilakukan laki-laki maupun perempuan. “RUU ini untuk menjawab kekosongan hukum. Bahwa setiap tubuh seseorang itu harus mendapat perlindungan hukum,” ungkapnya.
Imam menolak adanya anggapan bahwa RUU ini cenderung melegalkan perzinahan, LGBT, dan lainnya. Perilaku ini justru bertentangan dengan etika, moral dan agama. “Makanya, dalam pembahasannya harus melibatkan kalangan akademis, ulama, kiai, habaib dan tokoh masyarakat," imbuhnya.
Lebih jauh masyarakat yang menolak RUU PKS tersebut lebih menginginkan bukan menggunakan kata "Kekerasan" tapi "Kejahatan". Karena dengan "Kejahatan, maka pelaku bisa dipidana. (har)