
Harga tiket yang naik rata-rata 200% dan upaya menurunkan harga hingga 30% dirasa tak cukup berarti. Kondisi ini memukul sektor pariwisata terutama destinasi yang dijangkau lebih banyak melalui udara. "Di pulau Jawa barang kali penurunannya sekitar 20-40%, angka itu lebih kecil karena sebagian besar over land. Sedangkan di daerah lain sekitar 30% terganggu," jelas Menpar Arief Yahya saat berbicara pada acara Halal bi Halal dan Rembuk Nasional DPP ASITA di Jakarta, Senin (1/7).
Selain Menpar, acara dihadiri Ketua DPP Assosiation of the Indonesian Tours & Travel Agencies (ASITA) Rusmiati serta perwakilan Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI), Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Indonesia National Air Carries (INACA), Perhimpunan Usaha Taman Rekreasi Indonesia (PUTRI), dan Asosiasi Perusahaan Penjual Tiket Penerbangan Indonesia (ASTINDO), dll.
Menurut Menpar, masyarakat tidak paham tarif batas atas atau bawah, yang penting harga akhir yang harus dibayar konsumen mahal atau murah. Pada akhirnya pembeli akan membandingkan mana harga yang paling baik baginya.
Atau bila meninjau bussiness airline, Arief Yahya kembali berpendapat bahwa di negara teluk, airflane murah karena bisnis modelnya berbeda. Mereka tidak berdasarkan IRR (Internal Rate of Return), berapa pengembalian investasi lewat tiket pesawat, tapi dari ERR (Economic Rate of Return), dari berapa ekonomi yang tumbuh dari investasi yang dilakukan.
Solusi yang dilakukan Kementerian Perhubungan saat ini, kata Menpar, memang belum direspon dengan baik oleh airlines dan hal ini menimbulkan keseimbanngan baru bagi masyarakat dan industri. Sehingga bisa jadi sewa pesawat charter lebih murah dari membeli tiket ke maskapai. Bahkan dibukanya kran ijin airline asing masuk ke Indonesia juga menjadi rencana yang tepat mengatasi solusi tingginya harga tiket pesawat.
Menyinggung hal kompetisi, Ketua DPP ASITA Rusmiati sependapat dengan Menpar. "Dengan masuknya airlines asing tidak akan masalah buat kami asalkan airlines di dalam negeri sudah siap," kata Rusmiati.
Rembuk nasional ini juga dalam rangka memperjuangkan 7.000 anggota ASITA di 34 provinsi menghadapi permasalahan yang kerap dihadapi saat ini diantaranya perihal tiket pesawat dan (OTA) Online Travel Agent.
Untuk menghadapi persaingan digitalisasi harus dilakukan. Arief Yahya mengemukakan bahwa tak ada cara lain untuk lebih unggul kecuali dengan digitalisasi.
Saat ini search and share 70% dilakukan dengan cara digital. Perusahaan dengan value terbesar juga merupakan digital company. "Pariwisata kita tumbuh lebih cepat juga karena go digital, sehingga tidak ada pilihan lain OTA tidak bisa ditolak.Tak ada cara lain kita harus meyakinkan yang belum percaya agar menyikapi hal ini dengan berkolaborasi atau berkompetisi membuat tandingan yang lebih baik," jelas Arief Yahya.
Rusmiati menambahkan, dari aspek OTA ini masih menjadi tantangan membuat sekitar 30% anggota ASITA go digital. Untuk itu sesuai program kerja ASITA, pembinaan akan terus dilakukan mengenai digitalisasi terutama dalam mendatangkan inbound tourist. "Online sistem ASITA Go soft launching target saya sebelum 17 Agustus terealisasi. Harapannya paket tur yang dijual anggota ASITA bisa dipromosikan di sana. Selain itu ada event ASITA Fair yang rencana berlangsung Oktober mendatang untuk meningkatkan kunjungan wisman," pungkas Rusmiati. (son)