
Kemenangan Jokowi dan KH Makruf Amin ternyata menyisakan masalah-masalah besar. "Kami melihat ini residu Kampanye Pilpres 2019 ini sebagai potensi disintegrasi bangsa, potensi perpecahan en, potensi gerakan mengarahkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi NKRI bentuk lain," kata Ketua
Konco Jokowi, Leaders Park dan Direktur APINDO Danang Giriwardana dalam release media Talkshow "PR buat PakDe Jokowi, Edisi Radikalisme"
di Koffee Konco, Lantai Lobby
Mall Epiwalk, Epicentrum,
Kuningan Jakarta Selatan,Sabtu,(1/6).
Tampil sebagai nara sumber antara lain Maman Imanulhaq, Direktur relawan TKN, Anggota DPR RI, Direktur Relawan Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf, Prof. Dr. Zudan Arif Fakrulloh SH Ketua Umum Dewan Pengurus Korpri Nasional yang juga Dirjen Dukcapil Kemendagri.
Menurut Danang, Pilpres tahun ini disinyalir membuat bangsa Indonesia yang dulu dikenal ramah berubah jadi pemarah. Media sosial menjadi sarana yang massif menyuarakan fitnah, hoax, caci maki, amarah, kedengkian dan kebencian. Keprihatinan terhadap tokoh-tokoh politik dan tokoh agama yang terlihat penuh amarah menjadi motor penggerak fanatisme dan radikalisme.
Terbukt, lanjut Danang, beberapa oknum tokoh agama, orang-orang biasa, kalangan ASN, pegawai BUMN, tenaga kerja, dengan sangat mudah menyuarakan cacian dan bahkan sampai mengancam membunuh presiden. Mereka telah dan akan terus berhadapan dengan hukum. Fenomena ini tidak terjadi massif di Pilpres sebelumnya.
Danang mengatakan, radikalisme adalah PR (Pekerjaan Rumah) sangat serius bagi Jokowi dalam memimpin pemerintahan lima tahun mendatang. "Leadership Park dan Konco Jokowi merangkumnya dari diskusi intensif dan mengajak publik untuk turut serta menyuarakan pendapatnya," katanya.
Taat Hukum Vs Masyarakat Agamis
Untuk mewujudkan cita-cita itu, diperlukan pembangunan SDM yang sesuai. Seperti apa pembangunan SDM yang diperlukan untuk mewujudkan Indonesia yang bersatu dan berkeadilan sosial. Mayoritas responden menjawab agar Pakde Jokowi sebaiknya mendidik masyarakat menjadi disiplin, taat hukum dan saling menghargai (62.2%) dan memperkuat pendidikan karakter bangsa di sekolah (25,4%).
Sementara itu hanya 3,3% responden memilih jawaban memperkuat pendidikan agama, dan hanya 1% responden memilih memperkuat Pendidikan teknologi.
Artinya responden melihat bahwa Pendidikan masyarakat menjadi disiplin taat hukum dan saling menghargai jauh lebih penting daripada pendidikan agama atau teknologi, sebagai syarat dasar bangsa Indonesia menjadi maju sejahtera. Agama mungkin dilihat sebagai ranah privat, bukan urusan negara secara kolektif.
Pembiaran Aksi Radikalisme
Dalam Pilpres 2019 terjadi begitu masifnya aksi fanatisme dan wabah radikalisme di kalangan pendukung partai pengusung Capres Cawapres, responden menyampaikan saran agar Jokowi nanti mengatur sanksi diskualifikasi partai yang melakukan pembiaran radikalisme di kalangan pengikutnya (57,2%), mengatur penyelenggarakan pendidikan moral, etika dan kebangsaan pada calon yang diusung oleh partai (25,6%) dan yang menarik juga adalah mengatur agar ada mekanisme tututan kepada pimpinan partai yang membiarkan aksi radikalisme (11.2%).
Selama ini, belum terdapat regulasi tentang ini, sehingga Parpol merasa tidak memiliki kewajiban untuk mendidik konstituennya dalam hal nilai-nilai kebangsaan dan visi nasionalisme negara. Namun justru terdapat keluhan bahwa sebagian Parpol memelihara visinya sendiri yang tidak sejalan dengan visi NKRI.
Politisasi Rumah Ibadah dan gerakan menolak Pancasila
Pilpres 2019 diindikasikan meperkuat munculnya wabah radikalisme, misalnya politisasi rumah ibadah atau gerakan menolak Pancasila. Responden memilih saran kepada Pakde untuk membuat regulasi detail tata cara kampanye yang sejalan dengan UUD 1945, Pancasila, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika (60%), membuat regulasi larangan simbol-simbol kampanye yang memicu disintregrasi bangsa (17%), memperketat syarat-syarat pencalonan, termasuk kesehatan jasmani dan kejiwaan Capres dan Cawapres (13.9%)
Belum ada mekanisme sitematis dari pencegahan politisasi rumah ibadah dan atau terhadap symbol-simbol kampanye yang dilarang demi kepentingan NKRI.
Tentang Pendidkan Anak Bangsa
Dalam hal kurikulum berkarakter kebangsaan melalui pendidikan di sekolah, responden menyarankan kepada Pakde agar menyusun kurikulum pendikan moral, etika dan kebangsaan (46,3%), menghidupkan dan memperbaiki pengajaran P4 (Pedoman, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) (45,1%), menambah jam kurikulum pendidikan agama (2,6%).
Dalam hal ini terdapat dorongan agar pendidkan moral, etika dan kebangsaan diterapkan disekolah-sekolah. Sayangnya pendidikan P4 yang juga mengandung edukasi moral etika sudah dicabut dari kurikulum pendidikan formal. Ada baiknya pemikiran untuk dilakukan penyesuaian dan implementasi.
Radikalisme Komunitas Agama
Untuk menghentikan radikalisme di lingkungan komunitas agama, responden menyarankan agar dilakukan pemantauan ketat pada ceramah-ceramah di rumah ibadah (28,9%), seleksi ketat pada rekruitmen guru agama (26,4%), sertifikasi guru guru agama (21,6%), atau negara harus mengambil alih pengelolaan rumah ibadah (11,2%).
Dalam dua tahun terakhir terdapat banyak berita tentang keluhan masyarakat mengenai orang-orang yang tiba-tiba bisa menjadi tokoh-tokoh agama, entah karena acara di stasiun televisi atau dadakan karena afiliasi politik, sehingga dikeluhkan minimnya pengetahuan mendalam dalam agama itu sendiri sehingga memanfaatkan ketenarannya untuk melakukan hasutan dan atau caci maki di publik. Kementerian Agama sampai saat ini belum mampu mengeluarkan regulasi pencegahan untuk masa depan.
Tenaga Kerja dan Radikalisme
Tenaga kerja disinyalir rentan terpengaruh oleh ajaranx radikalisme, responden meberikan saran agar meminta perusahaan bertanggung jawab membina pekerjanya dengan nilai-nilai kebangsaan (36,2%), memecat tenaga kerja yang terbukti ikut gerakan radikalisme (25,7%), meminta perikat pekerja bertanggung jawab membina anggotanya dengan nilai-nilai kebangsaan (19.9%), tidak menerima pegawai yang pernah ikut gerakan radikalisme (12,4%)
Temuan dari pendapagt responden ini menarik, karena sejauh ini Perusahaan ataupun Serikat Pekerja tidak diketahui apakah melakukan upaya-upaya Pendidikan terhadap tenaga kerjanya dalam hal mencegah mereka masuk dalam kelompok-kelompok radikal atau ekstrem.
ASN dan Radikalisme
Jika aparatur sipil negara (ASN) ikut dalam gerakan radikalisme, responden menyarankan agar memberhentikan ASN itu dengan tidak hormat (77.9%), melaporkan ke polisi (10%), memberhentikan Kepala atau Ketua lembaganya (4,4%).
Baru baru ini Pemerintah mengeluarkan PP 30 Tahun 2019 Tentang Penilaian Kinerja ASN. Regulasi ini diharapkan cukup kuat untuk mendorong peningkatan kinerja birokrasi, dan mengatur mekanisme sanksi dan reward. Sayangnya memang tidak terdapat ketentuan khusus mengenai sanksi bagi ASN yang diduga atau terbukti terlibat dalam gerakan radikalisme anti Pancasila.
Siwa dalam Gerakan Radikalisme
Jika murid atau mahasiswa ikut dalam gerakan radikalisme, apa yang harus dilakukan? Responden menjawab agar dibina oleh Sekolah / Kampus (50,2%), dikeluarkan dari sekolah/kampus (26,7%), dilaporkan ke polisi (11,4%).
Ini temuan yang menarik, jika dibandingkan dengan hasil riset yang dilakukan oleh sebuah lembaga baru-baru ini justru mendapatkan temuan bahwa di Kampus-kampus, para dosen dan tenaga pendidik malah menjadi sumber munculnya gerakan-gerakan separatis atau radikal di kalangan kampus.
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila
BPIP bertugas membantu Presiden merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila, namun dengan merebaknya wabah radikalisme yang terjadi akhir-akhir ini, apa yang sebaiknya Pakde lakukan? Mayoritas responden menjawab agar BPIP diperkuat (86,5%), BPIP dibubarkan (3,2%) dan membangun badan baru (2,3).
Harapan public terhadap eksistensi BPIP cukup besar, namun harus diperkuat, dan mungkin perlu pemikiran yang lebih maju dan modern untuk membuat BPIP ini menjadi badan yang gaul, populis, jauh dari konvensionalitas pemikiran lama. Ia harus menjangkau masyarakat majemuk yang modern dan bersaing dengan pluralitas budaya internasional. (son)