Ini Pengakuan Korban Pembatalan Akte Lahan di Bali

JAKARTA (Bisnis Jakarta) – Merespon pernyataan Dirut PT. Nusantara Raga Wisata, Christoforus Richard Massa melalui kuasa hukumnya yang menyebut pihaknya tidak pernah menjual lahan SHGB No. 72/ dan SHGB No. 74/ yang berlokasi di wilayah Unggasan-Bali kepada pihak manapun, pihak PT. Mutiara Sulawesi (MS) angkat bicara. Ditemui di kawasan Menteng, Jakarta Pusat siang tadi, Rabu (31/7) Direktur PT.MS Ernes Ibrahim Talendeng membantah pernyataan CR. Ernes dengan menyebut CR telah melakukan kebohongan jika menyampaikan hal tersebut.

Dengan melampirkan sejumlah bukti, di antaranya dokumen pelunasan pembayaran lahan dari PT.MS kepada PT.NRW tertanggal 11 Oktober 2005 serta dokumen surat pelimpahan hak dari PT. Nusantara Ragawisata kepada pihak PT. Mutiara Sulawesi yang ditandatangani oleh Christoforus Richard (Dirut PT. Nusantara Ragawisata) per tanggal 26 Oktober 2005, Ernes mengatakan bukti-bukti tersebut sudah cukup menyanggah pernyataan CR.

“Terkait pernyataan Christoforus Richard melalui kuasa hukumnya pak Yusril yang menyebut pihaknya (PT. Nusantara Ragawisata) tidak pernah menjual lahan tersebut kepada pihak siapapun itu tidak benar,” ungkap Ernes.

Dirinya juga mengaku siap menghadapi apapun untuk memperjuangkan kebenaran lahan tersebut sudah dijual kepada pihaknya yang kemudian dijual kembali kepada pihak Karna Brata Lesmana. “Semua dokumen asli yang mendukung bahwa lahan tersebut sudah dijual kepada kami, kami punya dan kami siap jika diminta membuktikannya,” sambung Ernes.

Dalam kesempatan yang sama, sejalan dengan Ernes, Karna Brata Lesmana menceritakan pada 2008 PT.MS menjual lahan kepadanya.  Melalui notarisnya, Karna kemudian mengecek status lahan tersebut tidak bermasalah. Singkat cerita, usai membeli lahan tersebut, pada 13 April 2010 BPN Bali menerbitkan sertifikat atas nama Karna Brata Lesmana.

“Tahun 2010 yang saya tahu saya sudah memiliki lahan tersebut, tiba-tiba 2011 dan 2012 ada surat dari BPN yang menyatakan akan membatalkan sertifikat saya tanpa proses hukum. Tentu saja saya selaku pihak yang ditrugikan dalam hal ini, tahun 2008 saya ditawari lahan tersebut oleh pihak PT. Mutiara Sulawesi dan setelah saya cek di BPN melalui notaris saya dan tidak ada masalah, kemudian pada 13 April 2010 BPN menerbitkan sertifikat atas nama saya Karna Brata Lesmana. Tiba-tiba ada pembatalan perjanjian antara PT. MS dan PT. NR kok kenapa saya yang jadi korban padahal saya dalam hal ini sebagai pembeli yang beritikad baik,” ungkap Karna.

Karna meyakini keadilan di Indonesia masih ada dan dirinya siap menempuh langkah apapun untuk memperjuangkan kebenaran agar tidak ada lagi praktek-praktek mafia lahan. “Selama saya perjuangkan kebenaran, saya akan tempuh langkah apapun itu resikonya,” lanjut Karna.

Terkait pembelaan Yusril terhadap CR, Karna menyebut, “Saya siap bertemu pak Yusril dan membuka bukti-bukti kebohongan CR. Jangan sampai pengacara sekaliber pak Yusril kena dibohongi sama CR yang jelas saya sebut sebagai mafia tanah,” ujarnya.

“Sebelumnya setelah ditetapkan bersalah atas pemalsuan dokumen, pihak Christoporus Richard bersama saya dan pihak PT. MS bertemu, yang mana saat itu Christoporus minta kita berdamai, saya bilang damai seperti apa, kalau memang anda dirugikan silahkan ambil lahan tersebut, disisni saya hanya mencari keadilan, dan Christoporus hanya diam saja,” tutup Karna.

CR tak pernah menjual SHGB 72 dan 74 memang benar yang tidak diketahui Yusril. “Jiks CR tidak pernah membeli ShGB 72 dan 74 , bagaimana dia bisa mempunyai hak atas lahan tersebut?  CR membeli saham Pt NRW pada 2005, sedangkan SHGB 72 dan 74 telah disepakati oleh direksi NRW yang ama sebelum CR masuk ke NRW pada 2003 untuk dijual dan uang sebesar Rp5 milyar telah diterima oleh pemilik PT NRW  yaitu Harry Sapto dgn sepengetahuan CR, seizin CR dan melalui proses notariat yang sah,” tambahnya.

Sehingga pada 2005 sertifikat SHGB beralih dari Kepemilikan PT NRW ke PT Mutiara Sulawesi dan pada 2010 tanah tersebut dialihkan ke Karna Brata Lesmana dan PT Knight Bridge melalui proses notariat yang sah dan diketahui oleh BPN. Pada 2011, CR melalui kebohongannya mengelabui oknum BPN untuk mendapatkan SHGB 72 dan 74 yanh seakan-akan masih menjadi milik PT NRW. Itulah yang mengakibatkan CR berurusan dengan hukum dan diputus oleh hakim dihukum pidana 3 tahun penjara potong masa tahanan di polri dan kejaksaan. (grd)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button