KPU Diminta Jangan Buat Aturan Persulit Peserta Pilkada

JAKARTA (Bisnisjakarta)- 

Komisioner Bawaslu RI Rahmat Bagja meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuat aturan atau Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang tidak terlalu mempersulit atau sederhana, mudah dilaksanakan dan tidak melanggar undang-undang (UU).

Ia mencontoh, PKPU tentang larangan mantan narapidana koruptor maju di pilkada yang telah dibatalkan Mahkamah Agung (MA) namun oleh KPU coba dihidupkan kembali untuk Pilkada Serentak 2020 mendatang. "Kalau memaksa dibuat PKPU pasti akan digugat dan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK)," tegas Bagja di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Rabu (4/12).

Begitu juga aturan mengenai Sistem informasi pencalonan (Silon), sistem informasi partai politik (Sipol), dan sistem penghitungan (Situng) oleh KPU sendiri dianggap wajib. Padahal, itu hanya alat bantu untuk pengecekan materi, verifikasi partai, dan penghitungan untuk mempermudah masyarakat mengetahui saja. "Jadi, kalau ada partai yang materi dan verfikasinya belum penuhi Sipol, jangan lalu dibatalkan sebagai peserta pemilu atau pilkada. Kan, masih ada tahapan pertama, kedua, dan ketiga. Jangan sudah dimatikan dari awal, agar lahir pemimpin yang terbaik bagi masyarakat," tambahnya.

Sama halnya dengan perbuatan tercela. Menurut Bagja, tak perlu diatur dengan detil karena alat buktinya sulit. Untuk ini, bagi Bawaslu cukup dengan surat keterangan catatan kepolisian (SKCK). "SKCK sudah cukup sebagai bukti bahwa seseorang itu baik atau tidak," imbuhnya.

Sementara itu terkait, daftar pemilih tetap (DPT), Bawaslu minta KPU menarik DPT itu ke Kemendagri, agar Dukcapil dan KPU satu suara terkait jumlah DPT pilkada dan pemilu tersebut. Dengan begitu, maka sistem itu satu dan tak ada lagi DPT ganda dan sebagainya.

Pada prinsipnya kata Bagja, pilkada langsung ini sudah bagus dan kalau ada kekurangan harus terus dilakukan penyempurnaan. “Bukannya beralih sistem ke pilkada oleh DPRD,” tegasnya.

Anggota MPR dari unsur DPD RI, Teras Narang meminta agar pelaksanaan Pilkada langsung tidak membebani APBD. Karena selama ini biaya pilkada terlalu besar, sehingga menyedot dana rakyat yang sangat besar.

Mantan Gubernur Kalteng dua periode ini mengakui selalu ada hal apabila bicara pilkada. Ketua Komite I DPD ini, mengatakan saat ini pihaknya mencari siasat agar anggaran Pilkada tak membebani APBD.

Karena bagaimanapun juga, kalau anggaran Pilkada dibuat untuk membangun sekolah, puskesmas, dan fasilitas masyarakat lainnya. "Pasti akan terbangun secara berderet. Masalah biaya inilah yang harus jadi pertimbangan," imbuhnya.

Anggota MPR dari Fraksi PAN, Asman Abrur, dalam kesempatan tersebut menceritakan pengalamannya saat mengikuti Pilkada lewat DPRD pada tahun 2001. "Saya peserta Pilkada dipilih oleh DPRD," ucapnya.

Menghadapi yang demikian diakui prosesnya sangat panjang. Ia mengaku menghadapi 30 anggota DPRD yang menurutnya masalahnya sangat luar biasa. "Meski partai politik sudah mengintruksikan memilih seseorang namun masing-masing anggota mempunyai kepentingan individu sendiri-sendiri," ungkapnya. (har)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button