
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI mengusulkan agar biaya penyelenggaraan pilkada dapat dibiayai sepenuhnya oleh Angaran Pendapat Belanja Negara (APBN) dari pemerintah pusat. "Bagaimana kepalda daerah mau membangun dareahnya, kalau pilkada langsung telah membuat anggaran daerahnya terkuras, karena sudah terpakai penyelenggaraan pilkada," ucap anggota DPD RI Abdul Rachman Thaha di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (20/11).
Senator dari Sulawesi Tengah mengakui pilkada langsung berbiaya tinggi, namun pilkada langsung merupakan bentuk kedaulatan, kebebasan, dan demokrasi, dimana rakyat bisa memilih dan menentukan pemimpinnya sesuai hati nuraninya.
Oleh karena itu, ia mengaku telah mengusulkan untuk merevisi UU Otonomi Daerah dan UU Pilkada agar biaya pilkada dibiayai oleh APBN. Sebagai contoh di Provinsi Sulawesi Tengah saja, sebut Thaha untuk aggaran pilkada KPU dan Bawaslu sebesar Rp 180 miliar ditambah biaya keamanan totalnya bisa mencapai Rp 200 miliar.
Kalau saja ada 10 provinsi membutuh biaya sebesar itu maka anggaran yang dibutuhkan mencapai Rp 2 triliun.
Akibat biaya tinggi itu, kata Abdul Rachman, tercatat sembilan (9) daerah di Sumatera Barat, NTT dan daerah lain, yang menyatakan tak punya anggaran. Karena menguras kas daerah, maka banyak kepala daerah tak bisa menyusun program pembangunannya karena tak ada uang.
Sejauh ini, DPD bekerjasama dengan Kemendagri telah membentuk tim kajian daera-daerah mana yang indeks demokrasinya baik dan tidak. "Dari indeks inilah nanti, kita bisa melihat daerah yang siap pilkada dan tidak," ujarnya.
Sementara itu, Anggota DPR RI Ratu Wulla Talu mengingatkan kembali komitmen kepala daerah. Sebab, ketika yang bersangkutan sudah menjadi kepala daerah maka mau tau mau harus memajukan daerahnya. "Yang pasti pilkada langsung ini makin lama makin baik, dan menghasilkan pemimpin sesuai kehendak rakyat. Tapi, memberikan kesadaran dan pendidikan politik untuk tidak terjebak money politics itu memang butuh waktu yang lama," kata anggota DPR dari Fraksi Partau Nasdem ini. (har)