
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan syarat pencalonan kepala daerah bagi mantan narapidana korupsi yang pada Pilkada. Putusan menyatakan narapidana korupsi boleh mencalonkan diri maju pilkada setelah lima tahun bebas menjalani masa tahanan di penjara. "Mengadili, dalam provisi mengabulkan permohonan provisi para pemohon untuk seluruhnya. Dalam pokok permohonan, mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," ucap Ketua Majelis Hakim MK Anwar Usman dalam persidangan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (11/12).
Permohonan Uji materi diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menggugat Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota.
Pasal 7 ayat (2) huruf g tersebut menyatakan "tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana."
Dengan perubahan tersebut, maka terdapat perubahan frasa pada Pasal 7 ayat (2) huruf g. Yaitu mensyaratkan narapidana korupsi boleh mencalonkan diri menjadi kepala daerah setelah lima tahun bebas dari masa tahanan.
Meski demikian, syarat tersebut tidak berlaku bagi bekas terpidana tindak pidana kealpaan atau tindak pidana politik. Selain itu, MK juga mensyaratkan mantan napi koruptor harus jujur dan terbuka menyatakan bahwa dirinya adalah mantan napi.
Hakim Konstitusi Suhartoyo mengakui bahwa MK pernah membolehkan terpidana maju pilkada dalam Putusan MK No. 42/PUU-XIII/2015. Meski demikian, fakta empiris menunjukkan bahwa kepala daerah kembali mengulangi perbuatannya setelah dihukum.
Sehingga jangka waktu 5 tahun diberikan agar mantan terpidana korupsi bisa beradaptasi di tengah masyarakat dan menyadari perbuatannya. Dengan jeda waktu 5 tahun itu, negara tetap memberikan jaminan bagi warganya untuk dipilih dalam jabatan publik. "Langkah demikian demi memberikan kepastian hukum dan kembalikan esensi pilkada untuk menghadirkan orang berintegritas," ujarnya saat membacakan pertimbangan putusan.
Menyikapi putusan MK tersebut, Komisi Pemilihan Umum (KPU) segera merevisi PKPU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Dan/Atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
Revisi untuk memasukkan syarat baru pencalonan bagi mantan narapidana korupsi di Pilkada 2020. "Kami akan mempelajari putusan MK tersebut. Kemudian, tentu akan melakukan revisi, tapi tentu revisi yang terkait dengan putusan MK," ucap Anggota KPU RI Evi Novida Ginting Manik.
Terkait revisi ini, Evi memastikan pihaknya tidak perlu melakukan uji publik. Sebab, PKPU yang dibuat bukan peraturan baru tetapi hanya menambahkan beberapa frasa. "Tinggal ini penyesuaian revisi, untuk memasukkan (aturan) jeda yang 5 tahun itu kembali," ujarnya.
Karena hanya merevisi, Evi meyakini perbaikan bisa dilakukan bulan depan. "Mudah-mudahan, paling lambat Januari lah," ujarnya. (har)