
Anggota MPR RI dari dari Papua Filep Wamafma menegaskan rakyat Papua mempunyai mimpi besar, yaitu ada warganya yang menjadi Presiden RI. Untuk itu ia mengusulkan Pemilihan Presiden tetap dipilih secara langsung oleh rakyat, tapi wakil presidennya bisa ditunjuk presiden terpilih atau oleh MPR RI. "Mimpi besar rakyat Papua itu, rakyatnya ada yang menjadi presiden. Namun, kalau melalui pilpres langsung itu tidak mungkin, karena dipastikan kalah suara. Karenanya, wakil presidennya saja yang bisa ditunjuk prsiden atau dipilih MPR RI,” tegas anggota DPD RI dari Papua Barat itu di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Rabu (11/12).
alam diskusi bertema 'Urgensi Amendemen Konstitusi’ itu, Filep yang juga senator dari Papua mengatakan mimpi besar itu sejalan dengan wacana yang digaungkan pihak Istana Kepresidenan bahwa Presiden dan Wakil Presiden memiliki istana kepresidenan di papua.
Dalam bayangan Filep, wapres dari Papua menjadi mewakili ‘Melanesia’ atau bisa dipilih secara bergantian nantinya ada yang mewakili Melayu, Sulawesi, Kalimantan dan lain-lain. "Saya kira model ini bisa diatur melalui UU atau amandemen UU NDRI 1945, dan dengan kedudukan wapres tersebut saya yakin, NKRI akan makin kokoh dan daerah akan makin sejahtera,” katanya.
Indonesia yang besar ini, menurutnya akan kuat apabila daerah kuat, dan NKRI akan makin kuat. Ia berharap amandemen UUD NRI 1945 nanti memperkuat kewenangan otonomi khusus (Otsus) dan otonomi daerah yang masih sentralistik. "Bahwa kalau daerah kuat, NKRI akan makin kuat," tegasnya.
Pembicara lainnyam, Wakil Ketua MPR Jazilul Fawaid mengakui setelah diamati pilpres langsung telah memberi risiko dan potensi konflik sosial berkepanjangan. Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini mengatakan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sendiri sudah menyarankan pada partainya untuk mengevaluasi pilpres langsung tersebut. "Memang ada yang bilang kalau pilpres oleh MPR itu setback, mundur, khianati reformasi dan lain-lain. Tapi, kalau terbukti ini lebih banyak madhorot – buruknya untuk amsyarakat, bangsa dan negara ini, kenapa tidak dikembalikan ke MPR RI," tegas Jazilul.
Bahkan menurut Wakil ketua Umum PKB ini, sampai hari ini dampak pilpres masih terasa. Misalnya istilah penista agama, penghina Rasulullah, sampai ada keluarga yang harus memindahkan makam keluarganya, dan sebagainya. "Itu kan memprihatinkan sebagai sesama keluarga anak bangsa. Lalu, apakah pilpres langsung ini akan diteruskan? Inilah yang akan PKB kaji sesuai saran PBNU," ujarnya.
Oleh karena itu Lembaga Pengkajian MPR RI setelah melakukan kajian dengan melibatkan elemen masyarakat, MPR RI periode lalu merekomendasikan perlunya menghidupkan kembali haluan negara atau Garis-Garis Haluan Negara (GBHN) melalui amandemen UUD 1945. "Dari sinilah MPR melakukan safari politik atau road show dengan silaturahmi dengan berbagai ormas keagamaan, tokoh nasional, dan sebagainya yang sampai hari ini terus berlangsung. Jadi, MPR nanti apa saja yang menjasi aspirasi untuk amandemen terbatas itu? Apakah cukup GBHN saja, pilpres, dan sebagainya," jelas Jazilul.
Sementara itu, Sekretaris Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) tetap mendukung pilpres dan pilkada langsung oleh rakyat. Alasan biayanya tinggi itu tak bisa digeneralisir, karena ada calon kepala daerah dengan modal kecil tapi terpilih. "Kita ini masih belajar berdemokrasi. Sehingga perlu memberi ruang kepada rakyat untuk menentukan pilihannya secara langsung," tegas Iqbal. (har)