
Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Pansel Capim KPK) mengakomodir usulan kalangan media massa terkait gelaran debat publik untuk para kandidat.
Ketua Pansel Capim KPK Yenti Garnasih mengatakan usulan yang disarankan para pemimpin redaksi adalah debat publik, bukan uji publik. Sebab, uji publik akan dilaksanakan di Komisi III DPR dalam fit and proper test. "Ada dua tahapan di mana pansel yang empat tahun lalu tidak lakukan, yaitu ada psikotes, ada profile assessment dan ada debat publik," ungkap Yenti Ganarsih dalam diskusi 'Mencari Pemberantas Korupsi yang Mumpuni' di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (18/7).
Pada model seleksi psikotes dan profile assessment dilakukan untuk memotret profil calon pimpinan KPK dari sisi kompetensi serta karakter pribadi yang meliputi integritas pribadi, maturity, serta wawasan sebagai negarawan sudah dilakukan oleh Pansel periode lalu. Sedangkan debat publik untuk mengetahui kecakapan calon di depan umum. "Debat Publik itu yang sedang kita kemas, minggu depan akan meeting dengan pemred, karena itu memang ide dari pemred dan kita hanya mengikuti saja. Mengemasnya jangan sampai jatuhnya di pemilihan tapi tetap seleksi," ucap Yenti.
Debat publik sebagai model seleksi baru yang diwacanakan pemred, dipastikan akan berbeda dengan uji publik sebab uji publik merupakan tahapan yang dilakukan oleh DPR saat uji kelayakan dan kepatutan sedangkan debat publik merupakan gelaran yang dilakukan masyarakat. "Debat publik bukan uji publik. Uji publik kan di DPR, tetapi debat publik karena ada permintaan dari Pemred untuk ada dilakukan dua atau tiga hari, di tahapan tertentu sebelum wawancara," ujarnya.
Usulan ini muncul dengan pertimbangan ada calon-calon yang sebenarnya baik namun luput dari amatan pansel karena hanya tidak pandai bicara di media massa. "Artinya kita tetap jaga, seandainya ada calon-calon yang bagus tapi dia tidak terlalu pandai berbicara di depan media,"sebut Pakar Hukum Pidana ini.
Mengenai uji kompetensi yang digelar pada Kamis (18/7) kemarin, Yenti menjelaskan uji kompentensi dibagi menjadi dua bagian. Pertama para capim KPK diminta menjawab pertanyaan pilihan ganda dan membuat makalah terkait permasalahan korupsi di Indonesia. "Bagaimana kita berantas mencegah korupsi di Indonesia dan segala permasalahannya. Jadi, kita ingin menggali, sejauh mana mereka memahami permasalahan-permasalahan korupsi di Indonesia," ujarnya.
Dia menjelaskan dari 192 peserta capim KPK yang saat ini menjalani uji kompetensi, diharapkan ada 50 orang yang lolos hingga pansel akan mengerucutkannya menjadi 10 calon yang akan diserahkan kepada Presiden, kemudian disampaikan ke DPR untuk menjalani uji kelayakan dan kepatutan.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR Trimedya Panjaitan meminta pansel secepatnya bekerja dan menyerahkan 10 Capim KPK itu ke DPR.
"Saya minta 10 orang hasil seleksi Capim KPK itu diserahkan ke DPR periode sekarang. Sehingga DPR akan lebih mengetahui akan kemana KPK ke depan? Sebab, pimpinan KPK itu selain berkualitas juga harus kompak," ujarnya.
Politisi PDIP juga mengingatkan agar ke depan tidak ada lagi sentimen dan ketegangan di internal KPK antara pimpinan KPK dan penyidik. Sebab, yang harus dibangun adalah institusional building, lembaga KPK yang kuat dengan kinerja yang baik. "Jadi, kami minta pansel kirimkan setengah malaikat ke Komisi III DPR,” kata mantan Wakil Ketua Komisi III DPR ini.
Di tempat sama, Mantan Ketua KPK Antasari Azhar, memastikan unsur pimpinan KPK sekarang terindikasi melanggar Undang-Undang No.30/2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupi. Dalam UU KPK, Pasal 21 ayat 5, disebutkan, pimpinan KPK terdiri dari lima orang, dan lima orang itu harus ada unsur dari Kejaksaan. "Kalau tidak ada, dan hanya ada unsur penuntut umum saja berarti melanggar undang-undang. Nah, yang sekarang saya mau tanya, unsur Jaksa siapa? ada gak yang berlima itu. Berartikan sudah melanggar undang-undang," ungkapnya.
Mantan Kapuspen Kejaksaan Agung ini berharap para pimpinan KPK harus lebih pintar daripada anak buahnya. Apakah itu penyidik atau penuntut umum, harus lebih pintar. "Sebelum perkara ke pengadilan harus dipaparkan dulu dengan pimpinan," ucapnya.
Menurut Antasari, kalau pimpinan tidak bisa merespon paparan tersebut tentu kualitas KPK bisa dipertanyakan. Oleh karena itu, maka dalam fit and propert test di DPR harus dipertanyakan hal itu. "Apa bedanya unsur melawan hukum dan menyalahgunakan kewenangan. Dua itu saja. Mereka harus memaparkan itu dan kalau tidak bisa memaparkan itu, cari pekerjaan lain sajalah,” tandas Antasari. (har)