
JAKARTA (Bisnis Jakarta) – Kontrak pelabuhan petikemas terbesar di Indonesia, Jakarta International Container Terminal (JICT) kepada Hutchison Hong Kong habis pada 27 Maret 2019. Untuk itu pekerja pelabuhan mengingatkan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah mengeluarkan hasil Audit Investigatif kasus perpanjangan kontrak JICT pada 6 Juni 2017.
Hasilnya terdapat penyimpangan dan pelanggaran aturan yang saling terkait di antaranya perpanjangan kontrak JICT tanpa izin konsesi pemerintah, tanpa tender, tanpa RUPS dan tidak dimasukkan dalam Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP). Sehingga terindikasi merugikan negara senilai minimal Rp 4,08 trilyun.
Audit investigatif itu telah diserahkan kepada aparat penegak hukum dalam hal ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 17 Juli 2017.
Selain itu, hasil audit investigatif mengindikasikan akan jauh lebih menguntungkan bagi Pelindo II dan negara apabila JICT dikelola sendiri, 100% Indonesia. Sebagaimana Pelindo III yang tidak memperpanjang kontrak Dubai di Terminal Petikemas Surabaya.
Sebelumnya, pada 1 Desember 2015, BPK menerbitkan hasil audit Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) kasus perpanjangan kontrak JICT.
Menurut kesaksian anggota BPK Achsanul Qosasih dalam rapat Pansus DPR tentang Pelindo II pada bulan Desember 2015, audit PDTT tersebut diminta oleh Kementrian BUMN lewat Pelindo II.
Disampaikan,terdapat beberapa pelanggaran aturan namun Hutchison bisa melanjutkan kontrak dengan memenuhi kekurangan pembayaran.
“Seharusnya permintaan audit PDTT diperuntukkan bagi rencana perusahaan yang tercantum* dan tidak kontradiktif dengan audit investigatif yang bersifat final atas permintaan Pansus DPR tentang Pelindo II,” nilai Ketua Federasi Pekerja Pelabuhan Indonesia (FPPI) Nova Sofyan Hakim dalam keterangan tertulisnya.
Sehingga apabila Pelindo II mengikuti hasil audit PDTT tentu akan membuka celah hukum baru. “Bagaimana mungkin keputusan besar perpanjangan kontrak JICT tidak ada dalam rencana jangka panjang perusahaan dan tanpa izin konsesi pemerintah, tapi Hutchison bisa melanjutkan kontrak dengan penambahan kekurangan bayar?,” tanyanya.
Jangan sampai audit PDTT yang terindikasi sebagai hasil pemufakatan pihak-pihak tertentu dan kontradiktif dengan audit investigatif BPK dijadikan dasar hukum perpanjangan kontrak JICT oleh Pelindo II.
“Untuk itu kami yakin Direktur Utama Pelindo II yang saat ini menjabat Elvyn G Masassya sangat berhati-hati dan tidak akan gegabah dalam memutuskan perpanjangan kontrak JICT dengan berpijak pada audit PDTT yang cacat hukum dalam proses permintaannya dan berlawanan dengan hasil audit investigatif BPK,” tambahnya.
Pekerja pelabuhan mendukung penuh Pelindo II untuk menegakkan tata kelola pelabuhan yang baik (Good Corporate Governance/GCG) dengan berorientasi kepada aturan PerUndang-Undangan dalam kasus kontrak JICT dan juga kontrak TPK Koja yang telah habis pada Oktober 2018.
“Kami juga percaya KPK akan terus bekerja serta tidak akan membiarkan kasus perpanjangan kontrak JICT jalan di tempat,” tandasnya. (grd)