
Pemilu Serentak bagi partai politik dan para calon anggota legislatif (caleg) dinilai malah membuat proses penyelenggraannya lebih rumit, butuh biaya besar dan membuat pergeseran politik menjadi pragmatis.
Hal lain yang juga penting adalah pemilu legislatif (pileg) yang memilih anggota DPR, DPD dan DPRD menjadi tenggelam oleh pemilu presiden (pilpres) yang memilih presiden dan wakil presiden.
Untuk itu ke depan, politisi DPR sepakat akan mengubah UU Pemilu dari yang dilakukan secara serentak dikembalikan lagi menjadi terpisah antara pileg dan pilpres. "Jadi, pemilu serentak kali ini semua merasakan sangat rumit, membutuhkan biaya yang besar dan terjadi pergeseran politik masyarakat, maka sudah seharusnya UU Pemilu No.7 tahun 2017 tentang pemilu diubah," tegas anggota Komisi II DPR RI Firman Subagyo dalam diskusi dialektika demokrasi ‘Tenggelamnya Caleg di Tengah Hiruk Pikuknya Pilpres’ di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (28/3).
Firman mengungkapkan pada kampanye di pemilu serentak kali ini, dirinya harus merogoh kocek besar. Oleh karena itu, ia khawatir caleg terpilih dalam pemilu nanti juga hanya orang-orang yang bermodal besar. "Selain rumit karena serentak, yang bisa kampanye besar-besaran hanya caleg yang bermodal besar. Ini tak bisa dibiarkan, sehingga perlunya merevisi UU pemilu," ujarnya.
Padahal, menurutnya pileg lebih penting karena akan mengisi posisi wakil rakyat di parlemen baik di DPR RI, DPD RI dan DPRD. Sehingga DPR RI yang mewakili rakyat dan membuat UU, menyusun anggaran dan pengawasan terhadap pemerintah harus orang yang berkualitas. "Jadi, sistem pemilu ini harus direvisi," tegasnya.
Senada anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Effendi Simbolon mengatakan pileg dan pilpres harus dipisah. "Jangan sampai terjadi kekosongan di DPR RI. Karena itu selain dipisah, saya minta penghitungan suara pileg terlebih dahulu daripada pilpres," sarannya.
Sebab menurut dia, jika nanti perolehan suara pilpres sudah dihitung dan terjadi chaos, sementara perolehan suara di pileg belum dihitung, maka parlemen akan kosong.
Sementara itu Khoirul Muqtafa menekankan perlunya caleg memiliki empat modal yaitu modal ekonomi, modal sosial, modal kultural dan modal simbolik. Sehingga caleg-caleg yang memahami keempat modal itu yang berpleuang untuk dipilih rakyat. "Tentu, inovasi dan kreatifitas caleg berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain. Semua tergantung kearifan lokal masing-masing. Kalau di Jawa Timur, maka harus akrab dengan kultur santrinya,” kata Khoirul.
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) Manik Marga Mahendrata mengakui di kalangan mashaiswa lebih tertarik dengan pilpres dalam pemilu kali ini. Tapi, mahasiswa tetap mempertimbangkan rekam jejak atau track record caleg maupun pilpres. "Kita ingin caleg itu jelas jejak rekamnya, visi, misi dan programnya jika terpilih menjadi wakil rakyat. Demikian juga dengan pilpres, sehingga keterpilhan politik itu bisa dipertanggungjawabkan," tutur Manik. (har)