Pemilu Serentak Tak Sesuai Karakter dan Archipelago Indonesia

JAKARTA (Bisnisjakarta)-
Penyelenggaraan Pemilihan umum (pemilu) Serentak 2019 banyak menuai masalah. Desain pemilu yang dibuat serentak ternyata tidak sesuai dengan karakter kekhasan serta kondisi wilayah Indonesia sebagai negara archipelago (terdiri dari ribuan pulau). "Betul-betul tidak nginjak bumi di negara Indonesia. Negara unik archipelago dari Sabang sampai Merauke punya karakter kekhasannya sendiri, dipaksakan dengan pola seragam. Agak zolim juga desainernya," tegas Peneliti senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro dalam Dialog Kenegaraan dengan tema 'Evaluasi Pemilu Serentak, Bisakah Pileg dan Pilpres Dipisah Lagi? di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (26/6).

Oleh karena itu, Wiwik (panggilan akrab Siti Zuhro) setuju perlunya menata ulang desain pemilu yang jauh lebih membumi. "Jangan dipercayakan lagi pada desainer-desainer yang lalu. Kemarin itu (Pemilu Serentak 2019)  mengedepankan pemilu borongan, lima kotak," sambungnya.

Karena tidak sesuai dengan karakter masyarakat dan kondisi wilayah di Indonesia, Wiwik mengaku tidak heran Pemilu Serentak 2019 banyak menuai masalah. Salah satu fenomena baru dalam sejarah kepemiluan di negeri ini adalah banyaknya korban jiwa dari petugas penyelenggara pemilu yang jumlahnya mencapai 700 an orang.  "Kita catat pilihan pemilu ini tidak hanya mengurangi kualitas kita dalam berdemokrasi," ujarnya.

Ke depan, Wiwik meminta agar sistem pemilu yang dirancang tidak justru membuat ruwet rakyat Indonesia sendiri. "Jadi kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh daerah, mestinya mulai dipertimbangkan secara serius. Kita berdemokrasi nggak usahlah terlalu ruwet, complicated dan sebagainya," tegasnya.

Anggota DPD RI Jhon Pieris mendukung penyelenggaraan pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden (pilpres) dipisah kembali pada Pemilu 2024 karena menyisakan banyak masalah dan korban jiwa. "Kita sepakat bahwa ke depan itu harus ditinjau ulang. Istilahnya harus dipisahkan  kembali ke zaman sebelumnya," ujarnya.

Ada sejumlah cacatan yang menjadi pertimbangan Senator asal Maluku itu agar desain sistem pemilu dipisah kembali seperti sebelumnya.
Pertama kurangnya kesiapan kelembagaan penyelenggara pemilu. "Pemerintah kurang  memprediksi apa yang akan terjadi,  sebagai contoh soal kecil saja, di puskesmas itu waktu orang jatuh sakit dan meninggal tidak ada dokter-dokter yang siap untuk 24 jam disitu," katanya.

Kedua,  dampak pemilu serentak membuat konsentrasi politik nasional tercurah hanya ke pilpres. Ketiga, akibat dari fokus pemilu ke pilpres  saja maka kualitas pileg menjadi minim. "Contoh saja, tak ada debat caleg yang diselenggarakan di dapil-dapil sama sekali sehingga seperti membeli kucing dalam karung," ujarnya.

Dampak ikutan dari itu, sambung John Pieris politik transaksional caleg sangat tinggi karena pengawasannya juga lemah. "Bayangkan 4 guru besar dan 5 dokter di DPD itu tumbang semua karena tidak  punya uang," sebutnya.

Anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, Hetifah Sjaifudian mengakui Pemilu Serentak 2019 banyak menulai masalah sehingga perlu dievaluasi. Masalah-masalah tersebut antara lain banyaknya petugas yang meninggal, maraknya money politics, berita hoaks, kampanye hitam, politik identitas dan meningkatnya dinasti politik. "Semula pemilu serentak ini untuk memperkuat sistem presidensial, tapi jika harus dievaluasi tentu harus meminimalisir money politics, kampanye hitam, hoaks, politik identitas, dan dinasti politik tersebut," tegas Hetifah. (har)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button