Penolakan Perpanjangan Perburuk Citra JICT

JAKARTA (Bisnis Jakarta) – The National Maritime Institute (Namarin) menilai, penolakan Serikat Pekerja (SP) PT Jakarta International Container Terminal (JICT) terhadap perpanjangan kerja sama pengelolaan terminal dengan PT Pelindo II bisa berdampak buruk terhadap perusahaan itu.

Hal itu karena, kata Direktur Namarin Institute Siswanto Rusdi dalam keterangannya di Jakarta, Senin, jika perpanjangan kerja sama dibatalkan, maka pengelolaan dermaga yang menjadi terminal petikemas PT JICT saat ini akan kembali ke PT Pelindo II pada 2019.

Penegasan tersebut disampaikan terkait mogok SP PT JICT mulai 3 Agustus dan direncanakan hingga 10 Agustus dengan serangkaian tuntutan antara lain penolakan perpanjangan kontrak pengelolaan terminal dengan investor asing, Hutchison. Menurut Siswanto, sangat terbuka bagi Pelindo II mencari mitra lain untuk mengelola terminal bekas JICT, jika perpanjangan kerja sama dibatalkan seperti keinginan sekelompok pekerja di SP JICT.

“Jika perpanjangan kontrak kerja sama batal, para pekerja PT JICT itu tidak akan punya kerjaan lagi, kan dermaganya dikembalikan ke Pelindo II saat kontrak berakhir di 2019. Lalu akan bekerja dimana pekerja JICT yang berpenghasilan besar itu,” ungkap Siswanto Rusdi.

Ia menegaskan, sangat tidak benar bila perpanjangan kerjasama antara JICT- Pelindo II dibatalkan, pengelolaan terminal petikemas terbesar ini akan langsung secara otomatis menjadi milik merah putih dalam artian dikelola langsung oleh PT JICT seperti dikampanyekan SP JICT. “Logika hukumnya darimana?” katanya.

Menurut Siswanto, jika kontrak kerjasama JICT-Pelindo II berakhir pada 2019, secara hukum perseroan, PT JICT sebagai badan hukum masih akan tetap ada dan kecil kemungkinan bagi Pelindo II untuk membeli saham Hutchison Port Holding (HPH) di PT JICT.

Sebaliknya, HPH juga mustahil menghibahkan sahamnya ke Pelindo II ataupun Kopegmar. “Dengan tidak memiliki hak pengelolaan dermaga milik Pelindo II, PT JICT tidak mempunyai bisnis lagi dan hanya berisi karyawan bergaji mahal dan tukang protes. Mana ada investor yang mau membeli perusahaan seperti ini,” tegas Siswanto.

Karena itu, pengamat industri kemaritiman ini menilai, kondisi JICT yang tidak bisa beroperasi itulah yang justru diharapkan segelintir pekerja di SP JICT dan karena situasi itu mengharuskan PT JICT melakukan rasionalisasi. Kemudian, jika sesuai Perjanjian Kerja Bersama (PKB) antara manajemen dan pekerja JICT dan rasionalisasi dilakukan, maka perusahaan harus membayar sejumlah kompensasi yang nilainya fantastis.

“Sesuai PKB setiap pekerja yang terkena rasionalisasi rata-rata bisa mendapat Rp4-6 miliar di 2019 saat kontrak berakhir. Artinya untuk 700 pekerja JICT biaya rasionalisasinya mencapai lebih Rp3 triliun,” ungkap Siswanto.

Sesuai skenario SP JICT, setelah mendapatkan pesangon dari program rasionalisasi PT JICT, bekas pekerja JICT ini berharap dapat dipekerjakan di perusahaan pengelola dermaga Pelindo II yang sudah dikembalikan JICT tadi.

“Tapi saya yakin tidak ada perusahaan yang mau menerima pekerja eks JICT yang sudah tidak produktif dan terlalu banyak menuntut. Pasti pilih cari pekerja baru yang gajinya lebih terjangkau dan tidak mempolitisasi perusahaan,” ujarnya.

Dengan demikian, skenario SP JICT membangkrutkan PT JICT dengan menolak perpanjangan kerjasama JICT-Pelindo II jelas merugikan negara. Itu sebabnya, perpanjangan kerjasama JICT-Pelindo II adalah opsi terbaik.

Pelindo II menjadi pemilik mayoritas di JICT dan mendapatkan biaya sewa dermaganya sebesar 85 juta dolar AS atau hampir Rp1 triliun per tahun. Dana tersebut bisa digunakan untuk investasi di tempat lain oleh Pelindo II.

“Pemerintah, DPR dan masyarakat jangan terperdaya isu-isu sesat. Batalnya perpanjangan kerjasama JICT-Pelindo II justru akan merugikan negara dan menguntungkan segelintir pekerja di JICT yang sudah berpenghasilan ratusan juta rupiah,” imbuhnya. (grd/ant)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button