
Tahun depan tepatnya 23 September 2020, bangsa Indonesia akan kembali menggelar pilkada serentak setelah sempat terhenti karena perhelatan Pemilu Serentak 2019.
Ada sejumlah catatan dan perbaikan yang disampaikan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terkait pesat demokrasi masyarakat di daerah tersebut. Salah satunya adalah perlunya calon petahana mundur sebagai kepala daerah untuk memenuhi asas keadilan.
Usulan tersebut disampaikan Wakil Ketua DPD RI Nono Sampono dalam diskusi bertema 'Pilkada Serentak dan Tantangan Membangun Daerah' di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (6/11).
Nono menegaskan persoalan ini menjadi persoalan paling penting dari sejumlah catatan yang dilakukannya terhadap pelaksanaan pilkada selama ini. Sebab apabila hanya cuti seperti sekarang ini maka calon petahana masih dapat menggunakan kewenangan untuk menggerakkan birokrasi, aparat, guru-guru termasuk anggaran daerah untuk kepentingan politiknya. "Karena proses menggerakkan ini banyak sekali, calon petahana bisa menggunakan kewenangan, untuk memanfaatkannya misalnya politik uang, seperti dana hibah, bansos yang bisa digerakan untuk kepentingannya termasuk dana desa," ucap senator dari daerah Maluku ini.
Nono yang juga mantan perwira tinggi TNI angkatan laut mengatakan dari kunjungannya ke daerah selama ini, dia mendapati banyak laporan bahwa politisasi birokrasi, termasuk manipulasi laporan dana kampanye, KKN dengan penyelenggara dan seterusnya, merupakan hambatan-hambatan mewujudkan pilkada serentak yang baik. "Saya kira harus kita eliminasi, secara bertahap agar sistem pilkada serentak ini bukan sekedar hanya disatukan waktunya agar efisien dan efektif, tetapi jauh dari persoalan-persoalan yang tadi saya sampaikan," tegasnya.
Sementara itu, Pengamat Komunikasi Politik, Maximus Ramses Lalongkoe mengakui aspek nilai-nilai demokrasi yang jurdil dan sebagainya masih menjadi pekerjaan rumah penyelenggara pemilu. Sebab, dari amatannya selama ini proses pilkada yang sejatinya memilih pemimpin ideal ternyata telah melahirkan struktur politik kapitalis. "Kenapa saya katakan demikian, karena kelompok-kelompok kapitalis itu bermain di berbagai daerah di Indonesia terutama pada saat pilkada, dan akhirnya melahirkan pemimpin buruk di masyarakat kita," ujarnya.
Kelompok kapitalis inilah yang kemudian memunculkan pemimpin daerah yang terpilih karena hasil pesanan pemilik modal tersebut. "Kelompok kapitalis bermain dan dilakukan secara masif di daerah-daerah," ucap Ramses.
Kendati pilkada langsung masih menimbulkan biaya politik tinggi dan berdampak pada kapitalisasi demokrasi di daerah, namun ia tetap mendukung agar pemilihan kepala daerah tetap dilakukan secara langsung. "Saya tetap setuju pilkada tetap dilakukan secara langsung tanpa melalui perwakilan di DPRD. Hanya saja masyarakat kita yang sudah melek politik ini juga sudah melek dengan politik pragmatis atau politik uang," kata Ramses. (har)