
Wakil Ketua Komisi II DPR RI Saan Mustofa menegaskan pilkada langsung yang diterapkan di era reformasi pada hakikatnya merupakan bentuk koreksi dari kelemahan pilkada tidak langsung yang dipilih oleh DPRD.
Munculnya oligarki, menurut politisi Partau NesDem ini yaitu kepala daerah hanya ditentukan oleh sekelompok orang. Persoalannya apakah akan menjadi lebih murah biaya atau money politic-nya, atau justru bisa jadi akan lebih mahal.
Saan mengatakan apabila pertimbangannya bahwa pilkada langsung terlalu mahal biaya politiknya, bisa dipetakan kembali di mana biaya politik yang paling mahal itu. "Pada intinya saya ingin katakan bahwa evaluasi terhadap pilkada langsung itu perlu. Terkait dengan adanya kelemahan dan sebagainya, tapi kalau kembali kepada cara dipilih oleh DPRD, itu sama dengan kita kembali ke masa lalu, memutar arah jarum jam, dan itu kita hanya melanggengkan politik oligarki yang menentukan pemimpin hanya oleh segelintir orang yang belum tentu nanti mampu melahirkan pemimpin yang baik dan peduli," ucap Saan.
Sebagai pimpinan Komisi II DPR yang membidangai pemerintahan dalam negeri, Saan mengatakan bahwa hingga hari ini pihaknya belum menerima secara resmi terkait dengan rencana revisi UU Pilkada berkaitan dengan pernyataan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian untuk mengevaluasi pilkada langsung. "Apakah itu dari Kemendagri maupun dari masyarakat. Tetapi Komisi II tetap memasukkan itu sebagai bagian dari Prolegnas, apakah akan masuk prioritas atau belum," ujarnya.
Seadainya pun revisi UU Pilkada masuk prolegnas prioritas, ia memastikan penerapan pilkada tidak lansung belum dapat dilaksanakan untuk Pilkada Serentak 2020. "Kalau misalnya dilakukan revisi dan tahapan Pilkada 2020 sudah berjalan maka diperkirakan tidak akan bisa terkejar. Mungkin untuk Pilkada 2024 masih memungkinkan kalau dibuka ruang untuk melakukan revisi tersebut," tegasnya. (har)