
Wakil Ketua Umum Asosiasi Travel Agent Indonesia (ASTINDO) Rudiana mengatakan, imbas dari serangan travel online diperkirakan ribuan travel agent sudah tutup dan tak beroperasi alias gulung tikar. "Dari anggota ASTINDO yang tercatat 8.367, kini yang masih bertahan hidup dan bisa eksis hanya sekitar 50-60 agen. Inipun termasuk travel yang besar-besar," kata Rudiana saat melakukan audiensi dengan anggota Komisi VI DPR Darmadi Durianto di Jakarta, Jumat (18/1).
Rudiana yang hadir dengan ratusan anggota ASTINDO membeberkan soal komisi penjualan tiket airline yang semakin diperkecil. Bahkan untuk tiket penerbangan internasional menerapkan zero commission. Termasuk, pembebesan churning fee yang sulit terkontrol dan tidak bisa terlelakan.
Sementara tiket penerbangan domestik, lanjut Rudiana, komisinya juga terus menurun hingga pada angka 2%. Sedangkan service charge untuk tiket, tidak dapat diterima oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Namun terhadap hotel dan restauran justru dilegalkan.
Dikatakan Rudiana, kehadiran beberapa online travel agent (OTA) besar yang ditopang oleh pemodal besar, termasuk asing telah menjadi penguasa pangsa pasar di Indonesia hingga 70%. Karena mereka sanggup melakukan apa saja. "Sementara conventional travel agent(CTA) yang jumlahnya sekitar 99,5% hanya mendapatkan 20% pangsa pasar. Jadi terjadi persaingan yang tidak sehat dan mematikan UKM," terang dia.
Darmadi mengatakan, DPR menerima keluhan dari puluhan biro travel yang tergabung dalam ASTINDO. Para agen mengadukan nasibnya terkait gempuran pelaku bisnis online yang cukup gencar menjual tiket. "Mereka ini tergencet dari beberapa sisi. Misalnya, soal komisi dan insentif dari penjualan tiket, baik tiket penerbangan internasional maupun domestik.
Darmadi meminta masukan langkah apa saja yang harus diperjuangkan untuk menyelamatkan bisnis travel agent. Memang ini perubahan model bisnis, yakni travel online. "Serangan kepada ASTINDO ini ada dua, pertama dari airline terkait zero commision (penghapusan komisi), sehingga untungnya menipis dan akibatnya tidak bisa menutup biaya operasional. Kedua, tekanan langsung dari travel online, mereka bisa menjual tiket lebih murah. Bahkan tiket itu di bawa harga pasar," terangnya.
Ditambah lagi, sambung Dermadi, perilaku masyarakat yang sudah berubah bergeser semuanya ke online. Perubahan perilaku ini jelas membuat pusing pelaku bisnis travel agent. "Kalaupun memang harus dibuat UU, maka harus mencegah agar pelaku travel agent online ini tidak menjual tiket di bawah harga pasar. Karena ini sangat menekan dan menjurus tidak sehat," paparnya.
Kondisi seperti itu, lanjut Darmadi, berpotensi melanggar UU Persaingan Usaha dan Larangan Praktek Monopoli. Makanya, nanti DPR akan membahas lebih jauh pasal-pasal mana yang mereka langgar. "Terutama soal tiket yang berada dibawah harga pasar," terangnya.
Ia menilai, perilaku travel online ini cenderung menuju tindakan kapitalisme. Sementara pelaku bisnis travel konvensional ini mayoritas adalah UKM-UMKM, karena omzetnya kecil-kecil dan banyak menampung tenaga kerja. "Keberadaannya tentu harus dilindungi pemerintah. Jangan sampai mereka tertutup. Kalau mereka kolaps, ya banyak pengangguran," ungkapnya.
Karena itu, kata Darmadi, pelaku UMKM ini harus mendapat proteksi dari pemerintah. Makanya, tidak adil pelaku usaha besar kemudian menekan pengusaha kecil. "Tentu akan mati mereka," ucapnya. (son)