
Sebagai negara yang besar, sejak kemerdekaan 17 Agustus 1945, dalam sistem hukumnya masih menganut sistem hukum warisan kolonial. Sistem hukum tersebut dinilai menjadi sistem hukum yang tidak berhasil dilakukan di negara-negara yang menganut sosialis dan individualis yakni negara barat dan Eropa. "Terlebih Indonesia dinilai memiliki kelemahan hukum kolonial yang dilihat dari perspektif filsafat pasti mengandung nilai-nilai kolonial," kata Ketua Bidang Tata Negara dan Dosen Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Bahyangkara Dr. Hotma P. Sibuea, SH., M.H., dalam sebuah perbincangan di Jakarta, Senin (16/12).
Hotma mengatakan, nilai-nilai kolonial itu individualisme dan kapitalisme. Dari perspektif hukum kolonial yang dibuat sekarang dalam bingkai nilai filosofi yang diyakini pas adalah Pancasila. "Ini tidak baik karena akan terjadi anomali. Dimana kita menganut filosofi Pancasila tetapi hukum positif yang kita anut mengandung filosofi orang Belanda dan itu berlangsung sejak kemerdekaan Indonesia sampai dengan detik ini," papar Hotma.
Perspektif Hotma sebagai seorang akademisi, akan kemanakah kita berkiblat dalam konteks pembangunan hukum di Indonesia. Apakah berkiblat pada ideologi bangsa asing dan meninggalkan Pancasila, atau berkiblat pada Pancasila meskipun akan menjalani kesulitan-kesulitan
Pria yang aktif memberikan kuliah di beberapa kampus di tanah air itu menegaskan, mengapa dirinya mengatakan kesulitan, karena hukum positif yang ada saat ini sudah dipraktekkan oleh bangsa lain, puluhan bahkan ratusan tahun, tetapi dapat memberikan kesejahteraan. Oleh karena itu dirinya menyarankan jika hukum peninggalan Belanda ini diteruskan maka ujungnya sudah pasti dan sudah bisa tebak. "Tidak akan pernah memberikan kesejahteraan kepada bangsa Indonesia," jelas Hotma.
Baik filosofi individualisme maupun kolektifisme, baik kapitalisme maupun persisme, komunisme dan sosialisme tidak akan memberikan kesejahteraan bagi bangsa Indonesia dari perspektif hukum. Artinya, hukum postif tidak pernah dipakai instrumentasi umum untuk membuat rakyat sejahtera.
Ia mencontohkan, Indonesia mempunyai garis pantai 300 ribu kilometer. Pertanyaannya kenapa masyarakat nelayan yang ada dalam garis pantai tersebut tidak ada yang kaya? Dari perspektif hukum ini menunjukkan bahwa hukum positif tidak berfungsi memberikan kontribusi kesejahteraan buat nelayan.
Pria yang juga menjadi Pengacara ini mengatakan, eksperimen filosofi manusia adalah mempunyai kedudukan yang sama dan memiliki kebebasan itu gagal, yang bertitik tolak dengan pandangan filsafat individualisme dan liberalisme.
Sebaliknya komunisme, sosialisme yang bertitik tolak dengan pandangan filsafat manusia adalah makhluk sosial, juga mengalami kegagalan. "Globalisasi terjadi pertaruhan kepentingan dan terjadi krisis macam-macam, hukum kita hukum kolonial yang sudah tua dan lamban. Filosofinya adalah filosofi individualisme hanya mementingkan kapitalisme," katanya.
Dalam pemahaman Hotma, sampai ada satu kesimpulan bahwa hukum kolonial, maupun hukum sosialisme gagal karena berangkat dari satu solusi filosofis tentang manusia yang keliru. "Liberalisme dan kapitalisme berangkat dari asumsi filosofis hakekat manusia adalah makhluk individu yang sama kedudukannya di depan hukum itu salah," tegasnya. (son)