
Sekretaris Fraksi PAN DPR RI, Yandri Susanto menyarankan pihak yang keberatan dengan hasil revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) daripada mendesak dan mendorong-dorong presiden mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
Sebab, keputusan MK bersifat final dan mengikat, berbeda dengan perppu yang apabila ditolak oleh DPR maka tidak bisa diberlakukan.
"Kalau ada yang menggugat UU KPK, pihak istana atau pemerintah menyarankan melalui saluran lain, yaitu MK, dan itu sah dan sifatnya MK itu final dan mengikat. Kalau Perppu, kalau DPR menolak ya dia hidup lagi. UU yang di Perppu kan," kata Yandri di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (4/10).
Yandri menjelaskan, meskipun Presiden nantinya mengeluarkan Perppu, maka Perppu tersebut akan tetap dibahas dan ditentukan oleh DPR. Oleh karenanya, bagi pihak yang keberatan dengan UU KPK yang telah disahkan oleh DPR periode 2014-2019 lalu, maka diharapkan menggugatnya ke MK.
Atas dasar itu pula, Yandri meyakini Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak akan menerbitkan perppu tetapi lebih mendorong MK untuk memutuskan. Karena sejauh ini, berbagai pihak di masyarakat baik koalisi sipil, maupun mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi telah mengajukan uji materi (judicial review) UU KPK yang baru saja disahkan DPR di akhir masa keanggotaan DPR periode 2014-2019 lalu. "Setahu saya pemerintah tidak akan mengeluarkan Perppu. Jadi kalau dari komentar istana, kelihatannya Perppu tidak dikeluarkan," ungkapnya.
Sementara itu, mantan Ketua KPK Taufiequrachman Ruki mengatakan konstitusi telah mengatur mekanisme dan proses bahwa DPR hanya memiliki dua pilihan setelah presiden menerbitkan perppu, yakni menolak atau menerima. "Bersedia menerima atau menolak, itu dibahas dalam paripurna DPR. Jadi tidak ada hak mereka mengusulkan perbaikan perppu. Ini amanat konstitusi,” tegasnya.
Penerbitan perppu oleh presiden untuk menganulir UU KPK hasil revisi sudah diatur oleh konstitusi yaitu bahwa perppu sepenuhnya hak prerogatif atau kewenangan presiden. "Itu adalah hak presiden, dalam kapasitasnya sebagai kepala negara, berwenang menerbitkan perppu tanpa harus berunding dengan DPR," ujar Ruki.
Oleh karena itu, Ruki mengaku heran apabila ada seorang ketua umum partai yang menyebut apabila Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan perppu untuk memperbaiki revisi UU KPK salah-salah bisa dijatuhkan atau dimakzulkan dari jabatannya. "Saya agak kaget saudara Surya Paloh mengatakan, apabila presiden mengeluarkan perppu, akan dilakukan impeachment (pemakzulan). Saya bilang ini apaan, konstitusi mana yang mau dipakai," kata mantan perwira polisi ini.
Sebab, menurut pemahamannya selama ini, impeachment atau pemakzulan terhadap seorang presiden baru dapat dilakukan apabila melakukan tindak pidana. (har)