JAKARTA (Bisnis Jakarta) – Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto bersama pengurus Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi) menemui Imam Besar Masjid Istiqlal KH Nasaruddin Umar. Pertemuan dimaksudkan untuk bersilaturahim dan bertukar cerita tentang sejarah Istiqlal dan keislaman Presiden Sukarno.
“Secara khusus kami menyerahkan buku tentang sejarah Bung Karno dengan Islam. Kalau kita lihat tentang kepemimpinan dan berbagai hal tentang tanggung jawab sosialnya,” kata Hasto di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, Rabu (11/4).
Hasto menjelaskan, kunjungannya ini dilakukan membawa pesan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Menurut Hasto, Megawati menitipkan pesan agar disampaikan proses kaderisasi di internal PDIP yang mengajarkan keislaman serta sejarahnya.
“Di mana Bung Karno juga selalu menegaskan artinya Islam. Islam yang berkemajuan, Islam nusantara yang berkemajuan untuk Indonesia raya,” kata Hasto.
Dalam kesempatan itu, Hasto memberikan buku kepada Nasaruddin Umar. Langkah ini dilakukan sebagai upaya meluruskan sejarah yang menjauhkan Bung Karno dengan Islam. “Makanya kami bagikan cetakannya ke seluruh perpustakaan dan SLTA,” ujarnya.
Di sela dialog, Hasto mengundang Nasaruddin Umar dalam acara peletakan batu pertama masjid yang akan dibangun PDIP beberapa waktu ke depan.
Adapun Nasaruddin Umar mengaku terkejut mengetahui pengurus PDIP akan menemuinya. Dia merasa terkejut seperti saat mengetahui ada tokoh-tokoh besar lainnya datang ke Istiqlal untuk berbincang soal Islam dan Indonesia.
“Ini masjid milik bersama. Siapapun yang mau belajar islam datang saja ke masjid Istiqlal,” katanya.
Soal Bung Karno, Nasaruddin mengakui peran besar Bung Karno saat memimpin Indonesia dengan membangun bangunan fenomenal di masa ketika itu dengan mendirikan Masjid Istiqlal yang menjadi mesjid terbesar se Asia Tenggara. “Sejarah Masjid Istiqlal ini terkait dengan Bung Karno. Karena kalau bukan karena Bung Karno mungkin sulit bisa membangun masjid seluas ini,” katanya.
Nasaruddin mengatakan ketika akan membangun yang mulai dibangun pada 24 Agustus 1961 itu, banyak tokoh yang mengingatkan Bung Karno. Karena lokasinya jauh dari keramaian. Ketika itu, banyak yang menyarankan agar Masjid Istiqlal yang berarti Masjid Merdeka itu didirikan di kawasan Tanah Abang yang sudah lebih. “Kalau jauh dari Tanah Abang, siapa yang mau datang,” ungkap Nasaruddin.
Namun, Bung Karno tetap bersikeras. “Kata Bung Karno jangan lihat sekarang tapi lihat ke masa depan. Hasilnya seperti sekrang, mungkin kalo tidak dibangun di sini tidak akan seluas seperti di sini,” terang Nasaruddin.
Baru setelah puluhan tahun, banyak pihak menyadari keputusan Bung Karno membangun masjid yang berlokasi berdekatan dengan istana negara itu tepat. “Di dekatnya ada Stasiun Gambir. Ada alun-alun Ibukota ada Silang Monas. Berdekatan juga dengan rumah ibadah umat lainnya. Ada Istiqlal, Katedral dan Gereja imanuel.
“Pemikiran nya jauh melampaui di masanya, cara berpikir beliau ke masa depan,” kata Nasaruddin.
Menurut Nasaruddin, Masjid Istiqlal penuh dengan warna ke-Indonesiaan dan miliki semua umat. Karena siapapun bisa datang dan belajar tentang Islam di sini. “Dalam sejarah nabi pernah mensponsori pertemuan lintas agama. Ada 60 perwakilan kelompok. Ada umat Nasrani, Yahudi, bahkan kelompok aliran lain. Ini menjadi contoh buat kami. Bahwa nabi dekat dengan semua agama. bukan hanya dengan umat Islam,” ucapnya. (har)