
Ketua Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) Yeka Hendra Fatika mengingatkan pemerintah harus berhati-hati dalam mengelola isu jagung yang sering disebut mengalami produksi yang surplus ini. "Kementerian Pertanian perlu berhati-hati dalam memproduksi isu surplus jagung, karena realitasnya tidak seperti itu," kata Yeka saat menjadi pembicara dalam diskusi "Data Jagung yang Bikin Bingung" di Jakarta, Kamis (21/2).
Diskusi yang digelar Forum Wartawan Ekonomi Moneter (Forkem) dibuka dan sebagai Keynote Speech Sesmenko Perekonomian Susiwiyono Moegiarso. Selain Yeka hadir pula pembicara lain seperti peneliti Visi Teliti Saksama, Nanug Pratomo, dan presedium Agri Watch Dean Novel.
Sebelumnya, Kementan mengklaim surplus jagung sebesar 12,92 ton. Surplus disebabkan karena adanya luas panen jagung sekitar 5,3 juta hektar. Menurut Yeka, dengan asumsi 1 juta hektar memerlukan benih jagung rata-rata 20 kilogram, sehingga diperlukan benih jagung 106.000 ton. Padahal kapasitas produksi benih nasional tidak pernah melebihi 60.000 ton.
Menurut Yeka, jika surplus 12,94 juta ton, maka setidaknya diperlukan komplek pergudangan seperti gudang Perum BULOG di kelapa gading sekitar 3.245 gudang, dan memerlukan dukungan lahan sekitar 162.250 hektar atau 1.622,5 km2, dan bangunan itu merupakan jajaran dari 6.490 Silo Kapasitas 2.000 Ton per Silo. "Jika jagung itu diangkut pakai truk dengan kapasitas 7 ton, setidaknya memerlukan truk sebanyak 1,85 juta truk," kpapar Yeka
Jika harga jagung diasumsikan sebesar Rp 4000/kg, Yeka memastikan, diperlukan modal sebesar Rp 51,92 triliun. "Siapa pelaku usaha yang stupid mengalokasikan dana sebanyak itu untuk menyimpan tambahan surplus jagung tersebut. Perlu investasi totalnya sebesar 12,98 triliun. Jadi total investasi untuk menyimpan surplus jagung tersebut sebesar Rp 64,9 triliun," jelas Yeka.
Saat masih ada impor jagung, misalnya di 2015 sekitar 3,2 juta ton, kata Yeka, sering ada keluhan harga jagung dalam negeri anjlok. Kalau surplus sampai 10 juta ton saja, tidak terbayang bagaimana keluhan petani jagung, bisa bisa mereka tidak mau tanam jagung lagi di musim berikutnya karena harga jagung pasti anjlok tidak karuan.
Jika ada surplus jagung, tegasnya, tidak perlu juga ada impor gandum untuk pakan. Namun fakta mencatat, pasca ditutupnya impor jagung, pemerintah membuka impor gandum untuk pakan selama periode Juli 2017-2018 sebanyak 3,2 juta ton.
Logika surplus yang dibangun Kementerian Pertanian secara teknis dan ekonomis tidak mungkin terjadi. Oleh karena itu, kata dia, perlu pengusutan lebih lanjut mengenai problem hilir atau budidaya jagung, yang diduga banyak permasalahan. "Kebijakan Kementan telah mengakibatkan kerugian ekonomi Rp 17,39 triliun pertahun selama 2016-2018. Keputusan importasi yabg dilakukan Kemenko Perekonomian sudag merupakan langkah tepat, meskipun dinilai terlambat," katanya. (son)