
BANTEN (Bisnis Jakarta) – Sebagian warga Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten, terutama yang tinggal di pelosok, masih mempertahankan budaya “matung” atau motong kerbau bersama-sama menjelang Lebaran.
Seusai salat Subuh, Kamis (14/6), warga di beberapa perkampungan berkumpul dan bersama-sama motong kerbau, mengulitinya dan memotong daging dan anggota badan hewan lainnya, kemudian dibagi secara rata.
Matung, sebenarnya berasal dari kata patungan atau iuran. Warga berpatungan sesuai dengan kesepakatan. Uang yang terkumpul dibelikan kerbau untuk disembelih sehari sebelum Lebaran. Daging hewan itu dibagikan pada kelompok masyarakat yang berpatungan.
Pantauan di Kampung Pasirbatungan, sekitar 20 orang berkumpul dekat rumah Suja’i (ketua kelompok matung kerbau). Hampir semuanya membawa pisau untuk memotong daging hewan bertubuh besar itu.
“Saya matung bersama 30 warga. Tiap orang iuran Rp500 ribu, jadi terkumpul Rp15 juta, dibelikan satu ekor kerbau ini,” kata Suja’i sambil menunjuk seekor kerbau jantan yang siap dipotong.
Suja’i mengaku setiap tahun memotong kerbau bersama para tetangganya. Dia bertugas mengumpulkan uang dan membelikan kerbau.
“Saya selalu yang mengumpulkan uang dan membelikan kerbau. Enggak apa-apa yang penting bisa berjalan. Saya bersama warga di sini bisa matung tiap tahun,” katanya sambil berpamitan mau memotong kerbau.
Ia lantas memberi perintah kepada rekan-rekannya, “Sudah siap, ya. Ayo kita mulai! Tolong diikut keempat kakinya disatukan.” Dua warga mendekati kerbau, kemudian mengikat kakinya menjadi satu. Kerbau itu pun oleng dan terjatuh, kemudian yang lain mendekati hewan itu. Tanpa perintah, mereka membagi tugas masing-masing.
Satu orang memegangi ekor kerbau, dua orang memegang kepala, dan tandung kerbau, empat orang memang bagian badan kerbau yang tergeletak pada posisi miring ke kiri.
Bertindak sebagai algojo, Opik. Pria bertubuh kekar itu mendekati leher kerbau dan menyembelihnya. Selesai sudah memotong kerbau yang dilakukan secara bersama-sama pada “acara matung”.
Berikutnya, secara bersama-sama juga masyarakat menguliti atau melepaskan kulit kerbau dan memotong setiap bagian hewan itu, kemudian menimbangnya, lalu membagi menjadi 30 bagian. Setiap bagian sama, ada daging, hati, sampai usus.
“Semuanya dibagi rata. Tulang, daging sampai jeroan. ‘Kan dibelinya juga sama-sama, jadi harus sama juga pembagiannya,” kata Suja’i.
Pemandangan serupa juga terjadi di Kampung Kadongdong, Purbasari, dan Wakaf.
Setelah pembagian selesai, masing-masing warga membawa daging bagiannya yang sudah dimasukkan pada kantong plastic. Dengan sukacita, pulang untuk memasak daging menjadi masakan khas Lebaran.
Kebersamaan Tokoh masyarakat Pandeglang H.M. Yusuf menyatakan bahwa budaya matung merupakan kebiasaan turun-temurun. Tidak ada keterangan pada tahun berapa dimulainya dan siapa yang memulainya.
“Sejak saya kecil, itu sudah ada. Sampai sekarang oleh sebagian masyarakat, terutama yang tinggal di pelosok masih dipertahankan,” kata pria yang sekarang berusian 60 tahun itu.
Menurut dia, inti dari budaya ini sebenarnya kebersamaan. Dengan matung, semua warga bisa mempunyai daging kerbau dengan volume cukup banyak untuk dimasak saat Lebaran.
“‘Kan sama. Kalau dapat 5 kg, semuanya segitu. Jadi, yang kaya dan kurang mampu punya daging sebanyak itu berlebaran,” ujarnya.
Kalau harus membeli daging dadakan menjelang Lebaran, cukup berat. Jika harga daging Rp120 ribu/kg, untuk dapat 5 kg harus mengeluarkan uang Rp600 ribu saat itu juga.
“Kalau matung ‘kan dicicil. Pengumpulan uang yang telah disepakti dalam waktu 1 tahun. Itu pun tidak ditentukan cicilannya harus berapa. Istilahnya ‘sabogana” (berapa pun punya) yang penting saat bulan puasa lunas,” ujarnya.
Bahkan, ada juga yang pembelian kerbau dari hasil “persatuan” (masyarakat memborong satu pekerjaan bersama-sama), uang dari pekerjaan itu dikumpulkan pada satu orang, dan saat bulan puasa dibelikan kerbau untuk disembelih bersama.
Yusuf juga menyatakan sangat mendukung masyarakat terus mempertahankan budaya matung itu karena sesuai dengan semangat bulan puasa, yakni kebersamaan dan berbagi pada sesama.
Ketua Kelompok Matung Kampung Pasirbatung Suja’i menyatakan dalam pengumpulan uang untuk membeli kerbau masyarakat mencicil tanpa menentukan nilai cicilannya.
“Bagaimana punyanya saja. Kadang dalam sebulan ada yang hanya mencicil Rp20 ribu, Rp50 ribu. Akan tetapi, ada juga yang sekaligus dilunasi. Intinya yang penting waktunya mau membeli kerbau sudah lunas,” ujarnya.
Mengenai nilai iuran atau patungan, menurut dia, ditentukan secara bersama-sama. Berapa sanggupnya dan berapa orang anggota yang akan gabung.
“Jadi begini, saya kasih tahu kepada masyarakat mau matung. Terus ditanya siapa yang mau ikut. Misalnya, ada 30 orang, nanti kumpul untuk membahas mau membeli kerbau yang harga berapa,” katanya.
Ia mencontohkan pada Lebaran 2018, semuanya sepakat beli kerbau seharga Rp15 juta, tiap anggota iuran Rp500 ribu.
Suja’i juga menyatakan sudah menyepakati dengan warga lain pada Lebaran 2019 akan membeli kerbau seharga Rp20 juta. Mereka sepakat iurannya Rp650 ribu/orang.
Sementara itu, Turji’i, Ketua Matung Kampung Kadongdong menyatakan sebagian uang yang dibelikan kerbau dari hasil persatuan masyarakat.
“Saya bersama warga sering mendapat perkejaan memborong garapan sawah. Uangnya dikumpulkan dan dibelikan kerbau,” ujarnya.
Dari hasil persatuan, terkumpul uang Rp9 juta. Kerbau yang dipotong harganya Rp15 juta. Kekurangan Rp6 juta untuk membeli kerbau ditambahin dari iuran. Anggota kelompoknya 25 orang, jadi setiap anggota iurang Rp240 ribu.
Banyak hikmah yang bisa diambil dari budaya matung yang rutin dilakukan sebagian warga Kabupaten Pandeglang, di antaranya kebersamaan, berbagi, dan sikap gotong royong yang merupakan sikap harus senantiasa dimiliki warga negara ini. (ant)