JAKARTA (Bisnis Jakarta) – Masyarakat yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (GeRAM) dan Rumoh Transparansi (RT) mendatangi gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di bilangan Kuningan, Jakarta pada Rabu, 2 Mei 2018 pukul 09.30 WIB. Kedatangan mereka ke lembaga anti rasuah itu untuk menyampaikan pengaduan terkait dugaan suap yang dilakukan oleh perusahaan kelapa sawit PT Kalista Alam (PTKA).
Pengaduan tersebut langsung disampaikan oleh Direktur Rumoh Transparansi, Crisna Akbar. Langkah ini, kata Crisna, perlu mereka tempuh lantaran mereka mencium aroma suap yang dilakuan oleh perusahaan kelapa sawit tersebut sehingga memperlambat bahkan berpotensi untuk membatalkan putusan Mahkama Agung (MA).
Sebelum putusan MA, pada medio Juli 2014, Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh memvonis bersalah perusaan kelapa sawit tersebut karena melakukan pembersihan lahan dengan cara membakar lahan gambut Rawa Tripa di Kabupaten Nagan Raya. Rawa Tripa merupakan bagian dari Kawasan Ekosistem Leuser yang saat itu dikenal sebagai Ibukota Orangutan di Dunia.
Atas kesalahan tersebut, PTKA diwajibkan mengganti rugi materil sebesar Rp114 miliar ke negara dan harus membayar dana pemulihan lahan sebesar Rp251 miliar. Tak terima dengan putusan itu, PTKA mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi, namun ditolak. Mahkamah Agung pun telah menyatakan PTKA bersalah dan menolak banding maupun Peninjauan Kembali (PK) kasus ini. Putusan MA, salah satunya, melaksanakan eksekusi.
Namun faktanya tak berjalan mulus. Putusan MA tersebut tersendat. Dua tahun berselang, eksekusi tak juga dilaksanakan. Ketua PN Melaboh melakukan penundaan eksekusi tiga kali, dengan alasan PTKA sedang mengajukan PK. Setelah MA menolak PK, kini Ketua PN Meulaboh berdalih menetapkan perlidungan hukum PTKA.
Terakhir, Majelis Hakim yang dipimpin Ketua PN meulaboh, menerima gugatan PTKA No. 16/Pdt.G/2017/Pn.Mbo, tertanggal 13 April 2018, menyakatakan putusan Meulaboh No.12/Pdt.G/2012/Pn.Mbo, 8 Januari 2014, jo Putusan PT.Banda Aceh No.50/Pdt/2014/PT.Bna , 15 Agustus 2015, jo Putusan MA No.1 Pk/Pdt/2017 tanggal 28 Agustus 2015, Jo Putusan MA No.1 PK/Pdt/2017, tanggal 18 April 2017 Title non-eksekutorial.
GeRAM dan Rumoh Transparansi pun mencium adanya bau tak sedap dalam penundaan eksekusi tersebut. Merespon itu, mereka menempuh berbagai langkah untuk mengawal apa yang sudah diputuskan Mahkamah Agung, agar eksekusi segera dilaksanakan. Salah satunya menyambangi Komisi Pemberantasan Korupsi.
Tujuan mereka datang ke gedung lembaga pemberantasan korupsi itu, menurut Crisna, untuk menyampaikan kerugian negara akibat pembatalan tas putusan Mahkamah Agung yang berkekuatan hukum tetap (Inkracht van gewijsde) oleh Majelis Hakim. Pembatalan ini, menurut Crisna, merupakan bentuk kerugian negara. Negara berpotensi merugi hingga Rp366 miliar.
“Bahkan uang negara ini bisa saja hilang karena adanya putusan pengadilan dengan menerima semua tuntutan yang dilayangkan perusahaan kepada negara melalui Kementerian Lingkungan Hidup. Kerugian bisa juga dihitung berdasarkan waktu yang digunakan karena penundaan, karena lahan gambut di Rawa Tripa dan hutan yang terbakar perlu segera pemulihan. Penundaan semakin membebani kawasan hutan dan gambut yang berfungsi melindungi banjir dan mencegah kebakaran,” ujar Crisna.
Berdasarkan dugaan sementara, penundaan eksekusi terhadap putusan Mahkamah Agung merupakan salah satu tindak pidana korupsi, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 2 poin (a) beleid tersebut menyebutkan: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain dan suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”. (grd)