JAKARTA (bisnisjakarta.co.id) – Manajemen PT Meratus Line ternyata pernah menarget pemilik dan Direksi PT Bahana Line untuk dikriminalisasikan. Jadi tak hanya mengemplang utang Rp 50 miliar, namun diduga berbagai cara telah dilakukan oleh perusahaan milik Charles Manaro itu untuk mempengaruhi aparat penegak hukum, meski secara pembuktian dianggap lemah.
Menurut Kuasa Hukum PT Bahana Line Gede Pasek Suardik, ada arogansi dan rasa jumawa dengan kebesaran perusahaannya bisa mengatur aparat penegak hukum untuk memenuhi hasratnya mempidanakan pemilik dan direksi Bahana.
“Tapi kan alat buktinya lemah. Malah yang kuat itu, bukti Dirut Meratus, Slamet Raharjo yang terlibat penyekapan karyawannya di Perak. Hebatnya lagi walau sudah jadi tersangka di Polres KP3 Perak, kasusnya bisa menguap,” ungkap Gede Pasek Suardika yang akrab dipanggil GPS.
Bila ditelusuri, awal mula ditargetnya pendiri dan direksi PT Bahana Line adalah ketika PT Meratus mulai ditagih utang-utangnya yang bernilai Rp 50 miliar lebih.
“Saat ditagih itulah, mereka justru melakukan laporan polisi dugaan penggelapan BBM ke Polda Jatim dengan Laporan Polisi Nomor: LP/B/75.01/II/2022/SPKT/POLDA JAWA TIMUR tanggal 9 Februari 2022 dan pelapor atas nama Slamet Raharjo selaku Dirut PT Meratus Line,” tambahnya.
Setelah berproses, ternyata berdasarkan bukti dan fakta yang ada, muncul 17 tersangka antara lain 12 dari oknum karyawan PT Meratus Line dan 5 orang oknum PT Bahana Line. Namun, manajemen PT Meratus Line tampaknya belum puas atas fakta tersebut. Walau saat itu sudah ditetapkan 17 tersangka, yang justru sebagian besar karyawannya sendiri.
Manajemen Meratus justru tampak berusaha menarget pemilik dan Direksi PT Bahana Line. Kemudian, saat di BAP tambahan pada 26 September 2022, Slamet Raharjo secara khusus meminta agar pemilik PT Bahana Line Freddy Soenjoyo diperiksa karena tahun 2015 masih menjadi direksi, tidak hanya itu semua Direksi PT Bahana Line juga minta diperiksa kembali.
Seakan mendikte penyidik, tapi faktanya akhirnya Direksi PT Bahana Line diperiksa semua bahkan ditelusuri uang tabungannya sejak 2015 hingga 2022 dengan menggerakkan PPATK segala.
“Kelihatan sekali nafsu untuk mempermalukan pemilik dan Direksi PT Bahana, dan bukan untuk kepentingan penegakan hukum. Sangat disesalkan catatan penuntut umum dan dilanjutkan penyidik itu mengikuti kemauan Slamet Rajarjo, tanpa menunggu hasil persidangan 17 tersangka saat itu,” nilainya.
Terkait kondisi keuangan kliennya yang dibidik, baik Freddy Soenjoyo maupun direksi lainnya sangat clear tidak ada kaitan dengan Meratus.
“Bahkan Pak Freddy tertawa ketika dikejar keuangannya dengan cara begitu. Sebab sebagai salah satu pembayar pajak yang pernah mendapat penghargaan, semua tercatat dengan rapi,” ujarnya.
Hanya saja ini soal marwah penegakan hukum. Bukan alat untuk mencari cari kesalahan apalagi niat mempermalukan seseorang.
“Sebagai penasihat hukum, saya menyesalkan karena mengkaitkan kasus yang sudah inkracht dengan mengobok-obok keuangan pribadi yang tidak terkait kasus tersebut adalah tidak pantas,” katanya.
Yang membuat aneh adalah dasar menelusuri aset pribadi petinggi Bahana ini sangat bertentangan dengan hasil putusan PN Surabaya yang sudah inkracht saat ini. Justru terungkap PT Bahana Line juga sama dengan PT Meratus Line menjadi korban. Terbukti juga pemilik dan direksi tidak tahu menahu soal pidana yang terjadi.
Yang terungkap justru kelemahan internal manajemen Meratus, tetapi hal itu dijadikan salah satu alasan untuk tidak bayar utang ke Bahana dengan menarget petinggi Bahana lewat jeratan pidana. Maaf, ada kesan kuat penegak hukum diperalat untuk memenuhi ambisinya tersebut. Sebab perusahaan lain dimana ada masalah sama teryata tidak dimasalahkan Meratus. Saat sidang terungkap ternyata Meratus tidak punya utang dengan perusahaan tersebut.
Diduga, kuatnya Meratus mendikte penegak hukum terlihat dari keterangan di dalam BAP tambahan. Selain itu, anehnya, Slamet Raharjo mempermasalahkan tersangka yang ada dari jajaran direksi.
Padahal tersangka sekarang ini belum menyentuh Direksi, sedang Ratno Tuhuteru yang sudah disebutkan oleh Sdr Edi Setyawan juga belum dipanggil. Saat dipanggil hanya ditanya urusan dengan Dody Teguh Perkasa dan David Ellis Sinaga yang versinya dari Bahana Line/Bahana Ocean Line.
Hal yang aneh juga, pihak Meratus meminta kapal Bahana dan seluruh karyawan Bahana dijadikan tersangka penadahan. Tentu saja permintaan makin tidak masuk akal. Padahal fakta sidang nama yang disebut, Edi Setyawan justru menjelaskan tidak kenal dengan Direksi Bahana dan tidak pernah bertemu juga serta tidak terkait dengan kasusnya.
Tak hanya itu, yang mengagetkan adalah LHA (Laporan Hasil Analisis) PPATK yang sifatnya supporting intelijen finansial bisa berada di salah satu penasihat hukum terdakwa karyawan Meratus. Tentu ini aneh karena itu sifatnya sangat confidential dan bisa berada di tangan yang tidak berhak apalagi dijadikan bahan untuk diungkap di persidangan. Karena itu ada sanksi pidananya.
Itu ada sanksi pidananya, jelas dokumen rahasia itu dari PPATK ke penegak hukum yang menangani. Betapa kuatnya upaya mendikte sampai berani barang rahasia yang ada sanksi pidananya berada di tangan yang tidak berhak. JPU saat sidang sempat mau mengulang soal LHA PPATK tersebut dan diingatkan konsekuensi sanksi pidananya sehingga urung menggunakan. Itu data mentah yang belum dikonfirmasi sudah bisa berada di tangan tidak berhak. Betapa saktinya mereka. Terkait hal ini sedang dipertimbangkan menempuh jalur hukum. Biar jelas kemana rantai mafia hukumnya bergerak.
Hingga saat ini sprindik kedua yang bersumber dari laporan yang sama atas kasus sudah inkracht tersebut, yaitu Sprindik Nomor: SP.Sidik/899/X/RES.1.11./2022/Direskrimum tanggal 28 Oktober 2022 juga masih tetap menggantung. Tentu menjadi aneh karena peristiwa yang dipakai dasar penyidikan adalah peristiwa yang sama dengan 17 Terdakwa yang telah divonis berkekuatan hukum tetap.
Sementara sesuai dengan Putusan PN Surabaya No. 2631/Pid.B/2022/PN Sby telah disebutkan dalam pertimbangan hukumnya jika kasus yang dialami Meratus tersebut tidak ada kaitan dengan manajemen PT Bahana Line maupun PT Bahana Ocean Line. Perbuatan yang terjadi murni ulah oknum karyawan Meratus sendiri yang memaksa oknum karyawan Bahana membantu menjualkan BBM Meratus.
Bahkan majelis hakim PN Surabaya yang diketuai Sutrisno, mengatakan selain Meratus pihak Bahana juga dirugikan.
Yang membingungkan, dari laporan yang sama kasus penggelapan dan TPPU nya sudah inkracht tapi sprindik kedua tersebut masih digantung. Begitu kuatkah manajemen Meratus di penegak hukum sehingga tidak bisa bersikap obyektif.
Seharusnya, semua pihak termasuk penegak hukum tunduk dengan hasil dan fakta persidangan dimana saksi sudah menjelaskan diatas sumpah, bukti bukti sudah diuji dan disimpulkan hakim di putusannya.
Upaya hukum dengan saling lapor seperti ini seharusnya tidak perlu terjadi jika semua pihak termasuk penegak hukum tunduk dengan hasil dan fakta persidangan yang telah inkrah.
Saksi-saksi di persidangan sudah menjelaskan di atas sumpah, bukti bukti sudah diuji dan telah disimpulkan Majelis Hakim di putusannya. Pihak Meratus mestinya menyadari bahwa PT Bahana Line juga sama-sama menjadi korban akibat penggelapan BBM yang dilakukan oleh para karyawan. *rah