JAKARTA (Bisnis Jakarta) – Pelaku industri tekstil mendesak pemerintah untuk memberi dukungan nyata terhadap keberlangsungan industri tersebut. Pasalnya, saat ini kondisi industri tekstil nasional tengah memasuki lampu kuning karena terhadang sejumlah kendala yang mengakibatkan pasarnya terus menurun. “Sekarang pasar tekstil nasional 90 persen lokal dan 10 persen ekspor. Ini kebalikan dari beberapa tahun sebelumnya ketika industri tekstil nasional masih kuat dimana pasar untuk ekspor 90 persen dan lokal 10 persen,” ungkap Presdir PT Nutek Kawan Mas, Yuwenta Hendrika kepada pers disela-sela acara pembukaan Pameran Asesoris dan Mesin Tekstil Indonesia “Indo Intertex 2018 di Jakarta, Rabu (4/4).
Turunnya pasar itu jelas membuat pelaku industri tekstil harus melakukan efisiensi. Ada di antaranya yang mengurangi waktu kerja, mengurangi waktu lembur, dan ada juga yang mengurangi jumlah karyawan. “Kondisi ini sering dikeluhkan oleh para pengusaha tekstil namun tetap berusaha untuk bisa bertahan,” tutur Yuwenta.
Dia memaparkan kendala yang dihadapi pelaku industri tekstil itu antara lain masalah perpajakan dimana ada pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) impor mesin tekstil. “Kalau kita jual mesin dikenakan pajak tapi kemudian yang beli mesin gak mau pajak bagaimana,” ujarnya.
Kemudian, masalah Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang dipandang penting tetap harus ada kesungguhan dari pemerintah. “Kita memahami water treatment atas pengolahan limbah, tapi kita juga harus diberi kesempatan untuk tetap usaha, jangan sampai tutup,” tuturnya.
Menurut Yuwenta, pengolahan limbah itu terutama bagi industri tekstil yang pembuangannya ke Sungai Citarum. “Saat ini pemerintah sedang giat-giatnya melakukan pembersihan sungai itu, tapi jangan dipakai kesempatan oleh pihak-pihak yang ingin mengeruk keuntungan,” tuturnya.
Yuwenta juga menyinggung iklim berusaha industri tekstil di Indonesia kurang kondusif. Hal itu antara lain ketika harus mendatangkan mesin dari luar negeri yang disertai oleh kehadiran tenaga ahli. “Nah adanya tenaga ahli dari negara asal mesin, sering dihadapkan dengan masalah izin keluar masuk (exit permit) yang tidak lancar,” ujarnya.
Dia memperkirakan, jika iklim industri tekstil yang sudah lampu kuning itu dibiarkan maka akan mengancam keberlangsungan industri sendiri di mana banyak orang menggantungkan hidupnya. “Saya ingin pemerintah terus memberi dukungan agar industri tekstil di Indonesia bukan hanya bisa bertahan tapi terus meningkat,” katanya.
Jika tidak ada keberpihakan dari pemerintah, menurut Yuwenta maka industri tekstil akan melakukan ke negara lain. Saat ini tujuan relokasi industri tekstil adalah negara Vietnam, India, dan Bangladesh. (son)