
Pasca reformasi, kewenangan MPR yang begitu besar banyak tergerus. Praktis, lembaga yang dulunya disebut sebagai lembaga tertinggi negara itu, kini hanya dikenal dengan sebutan lembaga tinggi negara.
Anggota MPR Herman Khaeron mengakui konsekwensi dari banyaknya kewenangan MPR yang dicabut itu telah melemahkan kinerja MPR. Sejumlah pihakpun menginginkan MPR memiliki taji kembali agar benar-benar disesuaikan dengan fungsinya sebagai lembaga permusyawaratan rakyat.
Herman berpendapat optimalisasi tugas, wewenang, serta penguatan lembaga MPR ke depan tergantung pada konsensus anggota DPR, fraksi-fraksi di DPR, dan kelompok Dewan Perwakilan Daerah (DPD). "Penguatan MPR bisa dilakukan melalui (revisi) UU MD3 (MPR, DPR, DPD dan DPRD) atau dengan amandemen (perubahan) UUD," ucap Herman dalam Diskusi Empat Pilar MPR dengan tema Optimalisasi Tugas dan Wewenang MPR di Jakarta, Jumat (21/6).
Diskusi juga menghadirkan anggota MPR dari Fraksi Partai Golkar Rambe Kamarulzaman dan Direktur Eksekutif Voxpol Center Pangi Syarwi Chaniago.
Dalam pandangan politisi Partai Demokrat itu, MPR saat ini tetap sebagai lembaga yang memiliki wewenang tertinggi dibanding lembaga negara lainnya. Seperti kewenangan mengubah dan menetapkan UUD, melantik presiden dan wakil presiden.
Selain itu, tugas Sosialisasi Empat Pilar merupakan tugas MPR untuk menjaga Indonesia berdasarkan Pancasila. "Saat ini MPR sedang menggagas untuk mengembalikan garis-garis besar haluan negara,” sambung Herman.
Menurut Herman, fungsi dan tugas MPR masih bisa diperluas tidak hanya melaksanakan sidang tahunan (forum bersama DPR dan DPD) menjelang hari Kemerdekaan RI. "Penguatan itu diserahkan kepada konsensus anggota DPR nanti dan komitmen fraksi-fraksi di DPR untuk memperkuat dan memperkaya sehingga eksistensi MPR semakin diakui dan MPR bisa mengambil keputusan-keputusan yang strategis untuk bangsa Indonesia, seperti keputusan tentang garis-garis besar haluan negara," paparnya.
Sementara itu, anggota MPR RI Rambe Kamarulzaman mengatakan penguatan kepada MPR bisa dilakukan tanpa mengubah UUD. Caranya, dengan merekomendasikan UU khusus tentang MPR sehingga MPR memiliki kewenangan, tugas, dan kewajiban yang jelas.
Misalnya, aturan tentang jumlah pimpinan MPR. MPR pernah memiliki 11 pimpinan, kemudian berubah menjadi lima pimpinan, dan sekarang delapan pimpinan MPR. “Perlu ada UU khusus tentang MPR,” kata Rambe.
Soal lainnya, adalah perlunya Ketetapan MPR tentang pelantikan presiden dan wakil presiden. “Selama ini MPR hanya menjadi penonton, bukan melantik. Badan Pengkajian MPR sedang mengkaji perlunya Tap MPR tentang pelantikan pesiden,” ujar Rambe.
Penguatan lain, lanjut Rambe, adalah kewenangan MPR untuk menafsirkan UUD. Sebab, MPR memiliki kewenangan mengubah dan menetapkan UUD. "Selain garis-garis besar haluan negara, MPR juga perlu juga memiliki kewenangan untuk menafsirkan UUD," katanya.
Sementara itu pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago menegaskan bahwa optimalisasi dan penguatan lembaga MPR adalah dengan memperkuat ruh MPR sehingga MPR bisa menjadi lembaga negara yang lebih bermartabat dan dihormati. "Ruh semangat MPR sebetulnya ada pada musyarawah dan mufakat. Seharusnya rekomendasi ke depan MPR jangan meninggalkan ruh musyawarah mufakat. Karena ruh musyawarah mufakat adalah ruhnya bangsa ini," ujarnya. (har)