Roehana Koeddoes, Jurnalis Perempuan Pertama yang Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional

JAKARTA (Bisnis Jakarta) – Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon menerima kunjungan keluarga dan panitia pengusul Roehana Koeddoes (lahir di Koto Gadang, Sumatera Barat pada 20 Desember 1884 – meninggal di Jakarta, 17 Agustus 1972 pada usia 87 tahun) sebagai Pahlawan Nasional, di ruang kerjanya Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (9/4).

Fadli mendukung penuh dinobatkannya Roehana Koeddoes sebagai Pahlawan Nasional yang memiliki nilai-nilai kepahlawan memperjuangkan kemerdekaan di bidang pers. “Ia (Roehana Kudus) menjadi wartawan perempuan pertama sekaligus Pemimpin Redaksi pertama di jamam Hindia Belanda lewat koran bernama Soenting Melaju (Sunting Melayu) yan terbit pada tahun 1911 hingga tahun 1921,” kata Fadli Zon.

Fadli menjelaskan Roehana Koeddoes merupakan tokoh perempuan asal Padang, Sumatera Barat yang jauh sebelum kemerdekaan diraih bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945 telah berjuang memberdayakan perempuan di masanya melalui organisasi Amai Setia. “Dan yang tak kalah penting adalah perjuangannya di bidang Pers Roehana Kudus,” imbuhnya.

Fadli mengaku dirinya pernah membaca sejarah Roehana Kudus dari buku yang pernah ditulis sejarahwan dan tokoh Pers Hasril Chaniago dan Mustika Z. “Sehingga usulan tersebut wajib dipertimbangkan untuk menjadi Pahlawan Nasional pada bulan November mendatang,” paparnya.

Fadli menyadari pejuangkan kemerdekaan yang mengabdikan dirinya di bidang pers bukan hanya Roehana Koeddoes, tetapi banyakj tokoh pers dari daerah lain yang juga tidak kalah pentingnya dalam membela dan merebut kemerdekaan melalui dedikasinya berjuang di bidang pers.

Selain Roehana, diakuinya masih ada beberapa tokoh bangsa lainnya yang tengah diperjuangan untuk bisa mendapat gelar Pahlawan Nasional. Namun, dia mengaku ada kekhususan untuk Roehana, yaitu dari sisi kepahlawanan, kepatriotan, kepioniran dan pemberdayaan kesadaran nasional yang pada zamannya ketika itu sudah dilakukan Roehana. “Tidak hanya di satu bidang, melainkan di bidang pers dan kerajinan pemberdayaan wanita.

Sangat jarang perempuan jadi pemred (pemimpin redaksi-red),” kata Fadli. Ada beberapa kriteria yang perlu dinilai dari kepahlawanan sesuai ketentuan perundangan, menurut Fadli, yaitu mereka yang berjuang membangun kesadaran nasional, membangun pergerakan merebut kemerdekaan, punya konstribusi langsung.

Oleh karena itu, apabila keterlibatan seseorang pasca kemerdekaan atau tidak terlibat dalam perjuangan kemerdekaan tidak harus menjadi pahlawan nasional, namun bentuk penghargaan lainnya. Atau dengan kata lain kata dia, Pahlawan Nasional harus punya ciri-ciri keterlibatan di dalam merebut kemerdekaan, membangun kesadaran nasional, melawan secara fisik, intelektual, diplomasi.

“Roehana Koeddoes jelas punya track record itu semua. Saya tidak tahu kandidat atau tokoh yang dicalonkan lainnya. Jangan sampai yang tidak memiliki track record itu malah dijadikan Pahlawan Nasional. Jadi harus benar-benar dikaji semuanya,” jelas Fadli.

Tokoh pers dan sejarahwan asal Sumatera Barat, Hasril Chaniago yang masuk dalam Tim Panitia Pengusul Roehana Koeddoes sebagai Pahlawan Nasional mengatakan usulan yang diajukan sudah terbilang lama yakni pada tahun 2009 silam. Namun karena beberapa syarat belum dipenuhi akhirnya dikembalikan oleh pemerintah pusat, seperti penelitian tentang riwayat hidup sang tokoh disertai bukti-bukti berupa arsip, dan kesaksian-kesaksian.

Pemerintah dalam hal ini Kementerian Sosial masih mengijinkannya kembali tim mengajukan menyempurnakan semua persyaratan untuk terpenuhi. Kini, kata Hasril, persyaratan tersebut telah dipenuhinya. Oleh karena itu, ia meminta dukungan DPR, MPR, Dewan Pers, PWI dan berbagai elemen masyarakat untuk mendukungnya.

“Sehingga pada bulan November mendatang tokoh pra kemerdekaan asal Sumatera Barat itu bisa diberikan gelar sebagai Pahlawan Nasional,” kata Hasril. (har)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button