
Kalangan pelaku industri rokok yang tergabung dalam Gapero (Gabungan Pabrik Rokok) mensinyalir adanya pihak-pihak tertentu yang mempermasalahkan pemberlakuan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No156 tahun 2018 pengganti PMK No 146 tahun 2017, sebagai pihak yang mendukung diterapkannya simplifikasi penarikan cukai.
Menurut Gapero, dengan dalih tidak mengoptimalkan penarikan cukai dan tidak mengakomodir persaingan yang berkeadilan, pendukung simplifikasi cukai menggiring industri rokok di tanah air dikuasai oleh satu kelompok industri rokok besar yang bermodal kuat. Jika dibiarkan, dalam jangka panjang akan menciptakan monopoli industri rokok di dalam negeri.
Gapero mendesak agar kebijakan Presiden Jokowi yang sudah baik dan melindungi industri rokok secara adil, tidak dirusak oleh kebijakan simplifikasi cukai yang berbau monopoli. Saya melihat adanya pihak-pihak tertentu yang memaksakan simplifikasi. Diakui atau tidak, arahnya adalah monopli di industri rokok. Karerna itu, wacana penerapan simplifikasi penarikan cukai harusnya kembali ditolak Presiden dan komisi pengawas persaingan usaha (KPPU),” tegas Ketua GaperoSulami Bahar usai diskusi cukai di Jakarta, Selasa (3/9).
Menurut Sulami, oknum aparat pemerintah dan lembaga-lembaga pengkajian yang mendukung dan memaksakan Presiden menerapkan simplifikasi penarikan cukai tidak menyadari bahwa dalam jangka panjang, simplifikasi itu menciptakan monopoli industri rokok.
Sebab, jika simplifikasi rokok jadi diterapkan, cepat atau lambat akan mematikan pabrik-pabrik rokok skala menengah dan kecil. Jika mayoritas pabrik rokok di Indonesia mati, sebuah pabrik rokok besar yang memiliki modal yang sangat kuat akan menguasai industri rokok di tanah air, yang kemudian mengakibatkan terjadinya monopoli.
Dijelaskan Sulami, jika wacana simplifikasi dilakukan, bukan hanya akan merugikan dan mematikan industri rokok rakyat dan menutup ribuan kesempatan kerja yang berakibat ribuan bahkan ratusan ribu anggota masyarakat usia produktif di seluruh Indonesia kehilangan kesempatan kerja, tapi juga mematikan ekonomi rakyat sekaligus merugikan pereokonomian daerah. Hal ini akan mengakibatkan kondisi ekonomi yang sudah sulit saat ini akan semakin sulit.
Pada kesempatan tersebut Sulami membantah anggapan dari pendukung simplifikasi yang menyebutkan, PMK No. 156/2018 yang berlaku saat ini menjadikan penerimaan cukai negara tidak optimal.
Menurut Sulami, belum optimalnya penarikan cukai disebabkan karena tahun 2019 ini baru menginjakkan pada awal semester dua. Gapero yakin, target cukai pemerintah khususnya di bidang rokok sebesar Rp 172 triliun akan tercapai. “Terlepas siapapun yang menyampaikanya. Jika dikatakan tidak optimal, karena saat ini baru memasuki semester ke-2. Otomatis target dari cukai rokok sebesar Rp 172 triliun belum tercapai. Namun jika dilihat hingga akhir tahun 2019, saya yakin cukai rokok yang ditargetkan pemerintah sebesar Rp 158 triliun setahunnya akan tercapai,” papar Sulami.
Lebih lanjut, Sulami menegaskan, Gapero menolak anggapan, PMK NO. 156/2018 sebagai pengganti dari dibatalkannya PMK No.146/2017, menerapkan sistem ketidakadilan dalam berusaha di industri rokok. Justru yang terjadi adalah kebalikannya. Jika PMK No.146/2017 jadi diterapkan, akan mengarah pada pemberlakuan simplifikasi penarikan cukai. Simplifikasi penarikan cukai merugikan mayoritas atau 70 persen dari 400 pabrikan industri rokok ditanah air.
Sulami menambahkan, simplifikasi cukai adalah penyederhanaan penarikan cukai rokok. Yang semula terdiri dari 10 lier penarikan cukai dibuat menjadi 5 lier. Yang semula terdapat golongan I A dan IB, digabung menjadi Golongan I. Otomatis, yang semula produsen rokok yang berada di golongan I B membayar cukai rokok IB ditarik menjadi golongan I dan membayar golongan I. Otomatis bayar cukainya lebih tinggi. Demikian juga dengan golongan III ditarik menjadi golongan II. Otomatis perusahaan rokok kecil yang semula membayar cukai di golongan III dipaksa ditarik ke atas, membayar cukai golongan II yang lebih tinggi. Dan ini memberatkan pelaku usaha rakyat yang pabrikan kecil, karena diharuskan membayar cukai dua kali lebih tinggi.
Diputus Presiden
Di tempat yang sama, pakar ekonomi makro dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada (UGM), Elan Satriawan mengakui, kondisi ekonomi nasional saat ini sedang mengalami kelesuan. Untuk itu, Elan berharap kebijakan yang akan diterapkan oleh pemerintah harus hati-hati.
Demikian halnya dengan implementasi simplifikasi penarikan cukai. Presiden pasti berhati hati dalam mengambil keputusan. Pemerintah melalui Kementrian Keuangan pastinya sedang dan terus melakukan kajian. Hasil kajian itu semuanya diserahkan Kementerian Keuangan kepada Presiden Jokowi.
Sependapat dengan Elan Satriawan, Sulami menyampaikan, keputusan Presiden menolak PMK No.146/2017 sehingga Pemerintah menggantinya dengan PMK No.156/2018 sekaligus juga menolak simplifikasi penarikan cukai, merupakan keputusan yang diambil berdasarkan pertimbangan dan masukan banyak pihak. Serta berdasarkan banyak kajian.
Karena itu, lanjut Sulami, jika Presiden Jokowi sudah mengambil keputusan menolak simplifikasi berdasarkan kajian dan masukan dari berbagai pihak, sebaiknya jangan lagi didorong-dorong untuk mengganti keputusan kebijakannya, dengan usulan simplifikasi yang merugikan ekonomi masyarakat banyak. (son)