
Dari tujuh isu krusial, salah satunya adalah ketentuan soal pemberlakuan hukum yang telah hidup dalam masyarakat (living law) atau hukum adat pada Pasal 2 RUU KUHP.
Taufiq mengatakan KUHP tidak mengatur hukum adat. Misalnya jika ada seorang lelaki di satu daerah melanggar ketentuan adat seperti menculik atau membawa lari seorang gadis di daerahnya, lalu dihukum secara adat, maka RKUHP ini tak bisa diterapkan dalam kasus tersebut.
Hukuman yang dikenakan berdasarkan hukum budaya setempat, bisa dikucilkan maka sudah selesai dan tak perlu lagi ada intervensi pidana ini. “Intinya RKUHP tidak bisa intervensi terhadap hukum adat yang berlaku di masyarakat. Hal itu, karena RKUHP ini dibentuk dengan mengapresiasi kearifan lokal nusantara,” terang anggota Komisi III DPR RI ini.
Semangat DPR bersama pemerintah menyikapi hukum adat berdasarkan nilai-nilai yang berkembang di nusantara atau kearifan lokal, yaitu; filsafat Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, pluralisme, dan faktor eksternal terkait hak-hak asasi manusia (HAM) secara universal. “Hanya memang tidak sebebas-bebasnya HAM dan demokrasi di Barat. Sebab, demokrasi itu justru tak akan berjalan tanpa adanya ketertiban masyarakat. Bahwa setiap UU itu harus menciptkan ketertiban, kalau tidak berarti gagal,” ujarnya.
Hal lain yang dibahas oleh RKUHP yang diagendakan akan disahkan DPR pada 24 September 2019 adalah mengenai penerapan pidana dapat dikenakan bai Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT). "Dalam konteks LGBT yang berlaku adalah netral gender, jadi seseorang yang melakukan pencabulan di depan umum akan dipidana. Juga perbuatan seorang dewasa dengan anak kecil, dan antar sejenis," sebut Taufiq.
Selain itu juga mengenai keinginan dihapusnya hukuman mati. Pollitisi Partai NasDem ini memastikan RKUHP maaih mempertahankan hukum mati dalam hukum postitif nasional. "Karena agama masih mengatakan bahwa persoalan hukuman mati itu sebagai sebuah keyakinan. Sehingga hukuman mati itu tidak mudah karena memang sangat selektif , sepeti itulah dan itulah undang-undang kita," ujarnya.
Sementara itu, Pengamat Hukum Pidana Abdul Fickar Hajar mencermati kebebasan pers yang menurutnya sebaiknya diselesaikan melalui UU Pokok Pers bukan fi RKUHP. “Kalau tidak, maka RUKHP ini akan menjadi kumpulan hukum pidana secara menyeluruh,” katanya.
Soal COC (Contempt of court- penghinaan pada peradilan) menurut Abdul Fickar, yang dilarang itu penyiaran langsungnya karena khawatir mempengaruhi saksi-saksi yang lain. Tapi, siaran itu masih bisa dilakukan secara tunda.
Sementara itu, mengenai penghinaan terhadap presiden diakui Fickar, jabatan atau kekuasaan presiden memang harus dikritisi. Apalagi terkait kebijakan yang dibuat. Oleh karena itu, ia menyarankan agar penghinaan presiden diterapkan apabila sudah menyentuh pada masalah pribadi seorang presiden. “Kecuali kalau pribadi – personalnya, itu tak boleh, meski berdasarkan delik aduan. Tapi, mungkin perlu pemberatan hukum karena terkait kepala negara,” tegassnya. (har)