
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman mengatakan pihaknya belum bisa memutuskan ada atau tidaknya pemungutan suara ulang di Sydney, Australia. Alasannya, hingga lembaga penyelenggara pemilu itu masih menyelidiki masalah yang memicu protes ratusan Warga Negara Indonesia (WNI) di sana sehingga meminta dilakukannya pemilu ulang. "Apakah ada ketentuan yang melanggar, kalau tidak ada maka ada pasal yang mengatur, apakah ada pemilu susulan atau apa? Itu yang harus dicek dulu dan direspons bagaimana," ucap Arief Budiman usai mengikuti Rapat Koordinasi Kesiapan Akhir Pengamanan Tahapan Pemungutan Surat Pemilu 2019 di Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta Pusat, Senin (15/4).
Menurutnya, sejauh ini, KPU masih berkoordinasi dengan Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) di Sydney dan Bawaslu RI untuk memastikan apakah ada pelanggaran yang terjadi sehingga ratusan WNI di Sydney tidak bisa mencoblos.
Arief mengklaim telah melengkapi ketersediaan logistik di sejumlah TPS di Sydney. Arief memastikan KPU akan secepatnya memutuskan ada atau tidaknya pemungutan suara ulang.
Lebih jauh, menurut Arief tim yang berwenang harus melakukan peninjauan terhadap WNI yang masuk dalam antrean apakah mereka memenuhi syarat sebagai pemilih atau tidak. "Itu perlu dipastikan dulu apakah pemilih yang memang memenuhi syarat sebagai pemilih. Jadi kita akan meminta laporan secepatnya lalu diputuskan seperti apa untuk menindaklanjuti hal tersebut,” ujar Arief.
Selain itu, pihaknya juga sedang mengkaji pasal-pasal yang memungkin pemilu ulang dilakukan terkait kasus yang terjadi di negeri Kangguru itu. "Itu juga ada pasal-pasal yang mengatur apakah pemilunya bisa dilanjutkan atau ada pemilu susulan. Nah itu yang harus dicek dulu masuk kategori yang mana kemudian direspon dengan cara bagaimana," jelas Arief.
Berdasarkan Peraturan KPU, pemungutan suara di TPS dilakukan dari pukul 07.00 sampai 13.00, jika pukul 13.00 masih terdapat antrean maka orang-orang yang sudah hadir sebelum pukul 13.00 tersebut tetap harus dilayani haknya, tetapi jika ada pemilih yang datang lewat pukul 13.00 maka orang tersebut tidak diperkenankan untuk mencoblos. Hal tersebut juga berlaku di seluruh negara termasuk di Sydney, Australia. "Tinggal disesuaikan dengan jadwal waktu disana saja, kalau disini kan sampai jam satu siang," jelas Arief.
Namun, dalam kasus yang terjadi di Sydney mengalami kendala yang disebabkan oleh membludaknya Daftar Pemilih Khusus Luar Negeri (DPKLN) pada satu jam terakhir, yaitu pukul 17.00 hingga 18.00 waktu setempat yang mengakibatkan ratusan WNI terpaksa golput karena tidak diberi kesempatan untuk menggunakan hak pilihnya.
Kasus ini kemudian menimbulkan protes ratusan warga Indonesia yang menetap di Sydney, dan menuntut pemungutan suara Pemilu 2019 secara ulang. Permintaan itu disampaikan melalui sebuah petisi di laman www.change.org pada Minggu (14/3).
Alasan pemungutan suara diminta ulang, karena WNI yang memiliki hak suara itu tak diperbolehkan untuk menggunakan hak suaranya di tempat pemungutan suara (TPS) di beberepa tempat di Sydney pada Sabtu, waktu setempat.
Pihak yang menginiasi petisi ini adalah sebuah akun bernama The Rock. Sejak petisi ini dibuat, sudah ada 7.195 orang yang telah menandatangani petisi untuk meminta pemilihan ulang di Sydney. Petisi ini juga diteruskan kepada beberapa pihak, yakni Presiden Joko Widodo, KPU dan Bawaslu. (har)