Bisnis dan Tantangan Seni Lukis di Masa Depan

Mangupura (bisnisbali.com) –  Apurva Kempinski Bali selalu konsisten berkolaborasi dengan pihak-pihak yang turut melestarikan seni dan budaya bangsa. Masih dalam rangkaian Powerful Indonesia Festival, kali ini hotel yang terletak di Nusa Dua Selatan ini berkolaborasi dengan Kita Art Friends, komunitas seni asal Bali, mempersembahkan ‘Indonesia: The Land of Art’. Pameran studio seni yang digelar langsung di Lobi Pendopo resor mengundang para penggemar seni dari 11 Agustus hingga 3 November 2023.

Pada Art Talk September series kali ini, dengan tema “Seni Lukis, Bisnis dan Tantangan Masa Depan”, menghadirkan sejumlah pegiat seni lukis seperti kurator Rizki Zaelani dan Savitri Sastrawan, seniman Dedy Sufriadi dan Dicky Takndare serta pemilik galeri Zen 1, Nicolaus Kuswanto.

Menurut Director of Marketing and Communications, The Apurva Kempinski Bali, Melody Siagian, dalam tiga bulan kegiatan ini, tiap bulan menghadirkan seniman yang berbeda.

“Di setiap penggantian seniman itu, kita selalu membuat kegiatan untuk memperkenalkan siapa saja seniman yang dihadirkan pada bulan tersebut,” ungkap Melody Siagian.

Ia menambahkan sedang menyiapkan konsep untuk menghadirkan seniman yang berbeda bulan depan. “Untuk konsepnya tetap sama yakni menggelar art talk namun dengan tema yang berbeda,” tambah Melody.

Ia menilai tiap seniman Indonesia memiliki karakter dan identitas serta kultur yang berbeda. “Kita punya misi bagaimana seni dan budaya Indonesia ini kita perkenalkan ke global. Kita sebagai platform bagi setiap penggiat seni ini bisa lebih terkenal di tingkat global,” tandasnya.

Sementara itu dalam Art Talk yang dipandu Abdes Prestaka ia meminta setiap narasumber mengartikan apa itu seni. Kurator Rizki Zaelani menilai, seni itu tentang relasi yang dibangun karena berada di antara berbagai hal.

“Saat memberi nilai dan harga pada sebuah parya seni, keduanya memiliki hal yang berbeda yakni, saat menetapkan harga kita harus rasional, sedangkan mengenai value atau nilai bisa rasional dan bisa juga emosional,” ungkapnya.

Di sisi lain, Dedy Sufriadi menilai, ketika sesuatu sudah bergeser bentuk dan konseptual, pada saat itu disebut karya seni.

Lain lagi menurut pebisnis seni, Nicolaus Kuswanto yang menilai seni itu adalah sesuatu yang netral tetapi ada di tingkat tersier bukan primer. Ia juga menyebutkanhHarga sebuah karya seni ditentukan oleh ekosistem.

Sementara itu, Dicky Takndare memandang seni itu menjadi refleksi bagi seorang seniman tapi itu menjadi aspek kecil dari komunal. Sedangkan menurut Savitri Sastrawan, seni adalah semacam wadah yang bisa menjembatani ekspresi manusia baik yang ringan maupun yang berat yang bisa dijembatani oleh seni.

Sebagai pemilik Kita Art Friends Abdes Prestaka menilai seni saat ini menjadi bagian dari industri. “Seni ini pada saat diproduksi dan masuk dalam distribusi akan menjadi aset komoditi yang diperjualbelikan. Tapi sebagai karya seni itu adalah aset yang tidak berwujud karena di situ ada nilai-nilai emosional dan nostalgia sehingga harganya sangat sulit jika dihitung secara ekonomi,” ungkapnya menjawab pertanyaan audien.

Menjawab pertanyaan terkait harga yang bisa disematkan dalam sebuah karya seni, Nicolaus Kuswanto menyebutkan beberapa faktor penting dalam menentukan nilai dari karya seni, di antaranya kejeniusan, presentasi dan apresiator.

“Itu semua akan membentuk pasar dengan sendirinya. Saya setuju harga sebuah karya seni ditentukan ekosistem dan apresiator,” tandasnya. *rah

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button