
JAKARTA (Bisnis Jakarta) – Bank Indonesia mengembangkan neraca keuangan terintegrasi lintas sektor ekonomi, dan berskala regional guna mengawasi kerentanan sistem keuangan dari berbagai risiko, seperti risiko volatilitas nilai tukar rupiah.
Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo di Jakarta, Rabu, mengatakan, keberadaan neraca terintegrasi dan berskala regional akan memudahkan otoritas untuk mengawasi risiko sistemik dan memitigasinya. Untuk neraca keuangan berksala regional, Perry menyebutkan, BI merupakan Bank Sentral pertama di dunia yang mengembangkan inisiatif tersebut. Inisiaisi neraca keuangan regional dimulai sejak 2014.
“Inisiasi neraca yang terintegrasi dan regional ini karena kebutuhan informasi dan alat analisis dalam memantau transaksi ekonomi dan pasar keuangan yang semakin kompleks,” ujarnya.
Statistik neraca keuangan yang sebelumnya dimiliki BI tidak sepenuhnya mampu merekam potensi kerentanan sistem keuangan. Pasalnya, seiring berkembangnya kegiatan ekonomi, terjadi potensi ketidakseimbangan finansial (financial imbalances), kegiatan antara pelaku ekonomi yang semakin interkoneksi dan cepatnya jalur transmisi lintas sektor.
Konsep National and Regional Balance Sheet ini, ujar dia, merupakan satu-satunya statistik yang mengumpulkan posisi dan transaksi keuangan seluruh sektor dalam perekonomian, yaitu rumah tangga, korporasi, pemerintah pusat, pemerintah daerah, perbankan, industri keuangan nonbank, dan sektor luar negeri.
Untuk neraca berskala regional, Perry mengatakan, tingkat ekonomi dan di daerah kini semakin beragam. Belum lagi, terdapat kewenangan daerah untuk mengelola keuangan daerahnya secara otonom. Hal tersebut membutuhkan pemahaman spesifik dari Bank Sentral untuk menangkap perbedaan risiko masing-masing daerah.
“Indonesia juga sudah maju untuk melihat neraca dari provinsi provinsi baik melihat keuangan pemerintah, dan korporasinya itu kan berbeda-beda,” tuturnya.
Pengembangan neraca keuangan ini juga harus menyentuh kelengkapan data khususnya pada sektor korporasi. “Pelaporan keuangan korporasi secara rutin perlu menjadi prioritas bagi otoritas yang berwenang,” ucapnya.
Seminar tersebut dihadiri perwakilan 20 bank sentral dari berbagai penjuru dunia, otoritas anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan, serta Pemerintah Daerah, perbankan, ekonom, dan akademisi.
Penyelenggaraan seminar internasional ini juga bagian dari rangkaian kampanye Voyage to Indonesia menyambut pelaksanaan Pertemuan Tahunan Bank Dunia dan IMF 2018 di Bali, Indonesia. (grd/ant)