JAKARTA (Bisnis Jakarta) – Kementerian BUMN memastikan holding Badan Usaha Milik Negara Industri Pertambangan akan tetap mendapatkan pengawasan dari DPR RI.
“Semua kegiatan yang berhubungan dengan pengawasan DPR tidak ada perubahan,” kata Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat.
Proses holding telah lama dimulai dengan koordinasi bersama Komisi VI sebagai mitra Kementerian BUMN sejak akhir 2015 silam. Rencana pembentukan holding masuk dalam peta jalan (roadmap) pengembangan BUMN.
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menjadi payung hukum holding BUMN memang menyebutkan negara bisa melepaskan kepemilikannya di sebuah perusahaan tanpa melalui persetujuan DPR.
Namun, ada saham dwiwarna milik pemerintah pemerintah memiliki hak veto yang besar terhadap pengendalian dan rencana bisnis perusahaan dalam setiap perusahaan BUMN. “Dengan demikian, untuk penjualan saham atau privatisasi, itu normal-normal saja harus disetujui DPR. Jadi semua kegiatan yang berurusan dengan pengawasan DPR itu tidak ada perubahan,” tuturnya.
Ada pun terkait audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap holding tambang akan berlaku sama. Hal itu berdasarkan aturan bahwa perusahaan negara yang diatur UU Keuangan Negara dan UU BUMN. “Jadi kalau BPK masuk ke Inalum, dia akan lihat keseluruhan, ya semuanya itu,” ujarnya.
Direktur Utama PT Bukit Asam (Persero) Tbk Arviyan Arifin mengatakan pengawasan DPR akan tetap berlaku di perusahaan anggota maupun induk holding. Ia menyebut DPR memiliki fungsi mengawasi tidak hanya perusahaan negara tapi juga swasta.
“Dengan status kita tetap perusahaan negara baik melalui Inalum atau saham dwiwarna, otomatis pengawasan DPR tetap berlaku di perusahaan anggota maupun holding,” katanya.
Direktur Utama PT Antam (Persero) Tbk Arie Prabowo Ariotedjo mengatakan dalam PP 72/2016 perusahaan tambang yang akan diholding masih tetap diperlakukan sebagai BUMN meski status Persero dihilangkan.
“Artinya DPR tentu tetap melakukan pengawasan terhadap kita seperti sebelumnya. Jadi ‘business as usual’ kalau terkait DPR,” jelasnya. (grd/ant)